Jakarta (ANTARA) - Dalam tiga atau empat bulan terakhir nama Wuhan sudah sangat populer, bahkan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat awam di Indonesia.
Bukan kemegahan kota dan pertumbuhan ekonominya yang relatif cepat, namun makhluk bernama COVID-19 lah yang menjadikan nama Wuhan mengglobal.
Sejak tanggal 23 Januari 2020, Wuhan digambarkan sebagai kota yang paling horor di dunia atas pembingkaian berjatuhannya korban serangan virus corona jenis baru hingga pemenjaraan masyarakat di dalam rumah setelah status lockdown ditetapkan oleh pemerintah pusat di Beijing.
Tidaklah mengherankan jika kemudian masyarakat yang berada di tengah wilayah daratan China itu menyambut suka cita mana kala status tersebut dicabut.
Mereka berduyun-duyun di sekitar akses keluar-masuk perbatasan, pagar stasiun, terminal keberangkatan bandar udara, dan portal jalan bebas hambatan beberapa saat sebelum dibuka kembali pada 8 April dini hari.
Suasananya kontras dengan 76 hari sebelumnya saat mereka terjebak dalam cekaman di antara bayang-bayang kematian sanak saudara, orang-orang tercinta, petugas medis, aparat keamanan, dan profesi lainnya karena virus tersebut tidak mengenal kasta dan latar belakang seseorang.
Pada hari pertama pembukaan kembali Wuhan itu tercatat 624.300 warga setempat telah menggunakan jasa tranportasi umum.
Dinas Perhubungan Kota Wuhan menyebutkan pada hari pertama itu terdapat moda transportasi umum, seperti 346 unit bus, perahu, kereta metro bawah tanah (subway), dan taksi yang beroperasi.
Pemkot Wuhan juga mencatat 52.000 orang juga meninggalkan kota dengan kereta api, pesawat dan bus. Mereka dari berbagai kota di China yang terjebak di Wuhan saat krisis COVID-19.
Baca juga: Transaksi penjualan makanan dan jasa transportasi di Wuhan naik tajam
Baca juga: WNI tidak larut dalam euforia pencabutan "lockdown" Wuhan
Sesuai jadwal yang tertera di Stasiun Kereta Api Wuhan, kereta jurusan Nanning, Daerah Otonomi Guangxi, merupakan kereta pertama yang berangkat pada hari-H pencabutan lockdown.
Qi Shi sempat menyita perhatian orang-orang yang lewat karena jaket musim dingin (yurongfu) yang dikenakannya ketika Wuhan sudah memasuki musim semi yang hangat.
"Saya tidak membawa apa pun selain dua yurongfu. Siapa yang mengira kalau saya akan terjebak di sini selama lebih dari 80 hari?" ujarnya seperti dikutip Global Times.
Saat terperangkap di Wuhan, pria asal Guizhou itu tidak hanya terbebani masalah finansial, melainkan juga tekanan psikologis yang sangat berat, menganggur dan putus asa dalam isolasi di tengah lingkungan yang sama sekali asing baginya selama dua bulan lebih.
"Saya mengeluh dan mengutuk. Tapi begitu mendengar berita tentang pencabutan ini, hati saya seperti mau keluar dari kerongkongan," kata Qi yang akhirnya dapat menggendong kembali putranya yang berusia dua tahun.
Dua hari menjelang pencabutan lockdown Wuhan, di China dilaporkan tidak ada kasus baru COVID-19 dan tidak ada kematian.
Pasien dalam kondisi kritis juga turun hingga di bawah angka 200 orang dan ini merupakan yang pertama kalinya terjadi sejak wabah tersebut berjangkit pada Desember 2019, demikian Komisi Nasional Kesehatan China (NHC), Senin (6/6).
"Namun China masih menghadapi kasus impor sehingga menambah tantangan dan tugas pencegahan serta pengendalian makin sulit," kata Mi Feng, selaku juru bicara NHC.
Terlepas dari itu semua, perekonomian di Wuhan mulai bergeliat, meskipun gejalanya sudah tampak sejak 11 Maret setelah pemerintah pusat mengizinkan beberapa industri kembali beroperasi.
Kuliner dan sektor transportasi publik yang paling menikmati masa-masa awal pembukaan kembali Wuhan.
Portal teknologi TechWeb, melaporkan transaksi penjualan makanan siap saji dan jasa transportasi masing-masing mengalami peningkatan 349 persen dan 1.502 persen.
Demikian halnya dengan transaksi pembayaran daring via Wechat Pay meningkat 162 persen selama periode 25 Maret-3 April 2020 dibandingkan dengan periode 25 Februari-5 Maret 2020.
Tingkat konsumsi kuliner malam pada 3 April atau masa-masa persiapan pencabutan status lockdown naik hingga 198 persen. Demikian halnya dengan penjualan makanan pagi pada periode tersebut juga mengalami puncaknya dibandingkan dengan 27 Maret.
Cailinji, restoran ikonik berjaringan di Wuhan, dalam 10 hari terakhir menerima 20.000 pesanan.
Bahkan platform e-dagang seperti Tmall, Taobao, JD, Sunning, dan Pinduoduo meluncurkan promosi daring untuk membantu pedagang dan petani lokal menjual produknya.
Alibaba sampai-sampai membeli udang senilai 1 miliar yuan (Rp2,24 triliun) dari Provinsi Hubei yang kemudian dijual kepada pelanggannya melalui swalayan produk segar Hema atau platform belanja daring Taobao dan Tmall sebagaimana laporan China Daily.
Tak Kapok
"Saya sejak dua hari lalu malah belum keluar. Di asrama kampus saja," kata M Rezha Alda Putra yang tinggal di Xianning, Provinsi Hubei, saat dihubungi ANTARA, Jumat (9/4).
Ia dan rekan sekamarnya di asrama, Nicho Fathir Rahman, lebih senang menghabiskan waktu di dalam kampus.
"Apalagi kuliah online juga sudah berlangsung sejak Februari lalu," ujar remaja asal Surabaya yang sudah hampir tiga tahun berkuliah di kota tetangga Wuhan itu.
Selain kuliah daring, Rezha dan Nicho yang sama-sama lulusan Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, itu mengisi waktu sorenya dengan bermain basket di kampus.
"Biasanya setiap dua hari sekali, saya dan Nicho keluar kampus untuk belanja," ujarnya seraya menyebutkan bahwa setiap bulan mendapatkan bantuan uang belanja dan obat-obatan dari Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Beijing itu.
Ia mengaku tidak pernah menghitung hari, tiba-tiba semua aktivitas di Wuhan normal kembali.
Dia belum berniat pulang kampung dalam waktu dekat ini mengingat situasi wabah di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus positif dalam kurun 1,5 bulan terakhir.
Rezha merupakan salah satu dari tujuh warga negara Indonesia yang masih bertahan di Hubei sampai sekarang.
Ia bersama Nicho dan Humaidi Zahid batal terbang bersama 238 WNI lainnya yang dievakuasi dari Wuhan pada 1 Februari menuju Natuna melalui Batam dengan pesawat carter.
Suhu badan ketiga pelajar itu mendadak naik beberapa saat sebelum pesawat Batik Air tersebut tinggal landas dari Bandar Udara Internasional Tianhe di pinggiran Kota Wuhan.
"Saya lupa naruh boarding pass saat mau check-in bagasi. Bingung, lari-lari mencari ke sana-ke mari, sampai akhirnya ketemu di hoodie (jaket berpenutup kepala) teman," tutur Rezha mengenang kejadian yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya itu.
Begitu pas keberangkatan yang dibagikan oleh Tim Lima KBRI Beijing ketemu, Rezha buru-buru menuju jalur antrean boarding bersama warga negara asing lainnya yang sesak dan menggerahkan itu.
Beberapa saat sebelum naik pesawat, suhu badan Rezha naik sehingga harus menjalani pemeriksaan lanjutan sesuai protokol kesehatan yang ditetapkan oleh WHO.
Setelah menjalani pemeriksaan di klinik bandara, Rezha dan kedua rekannya itu tidak terdeteksi positif mengidap COVID-19.
Sayangnya, pesawat milik Lion Air Group tersebut sudah telanjur terbang dan tidak mungkin kembali ke landasan sehingga Rezha dan kawan-kawan harus menerima kenyataan pahit, kembali ke asrama kampus yang berjarak sekitar 100 kilometer dari bandara.
"Sedih banget, sampai nangis, apalagi orang tua. Tapi saya tidak kapok. Namanya musibah, mau bagaimana pun harus diterima," ujarnya mengakhiri perbincangan. (T.M038)
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020