Jakarta (ANTARA) - Peneliti Madya Bidang Oseanografi Terapan Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan SDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo menyebut penampakan paus pembunuh di perairan Anambas, Kepulauan Riau, sebuah anomali.

“Orca kan jarang, biasanya di samudera selatan hingga subtropis. Di Indonesia ada beberapa kali muncul tapi tidak rutin setiap tahun atau musiman,” kata Widodo di Jakarta, Jumat.

Kemunculan paus pembunuh atau Orcinus orca di sekitar Anambas dibagikan Bawah Reserve di akun Instagramnya pada Sabtu (4/4), yang menyebut rekaman video empat orca diabadikan nelayan setempat yang kebetulan berada di perairan Letung sehari sebelumnya.

Secara teoritik, Widodo mengatakan orca yang hidup di perairan laut tropis suka dengan suhu air laut berkisar 27 hingga 32 derajat Celsius, dan bersalinasi (kadar garam) berkisar 35 hingga 39 practical salinity unit (PSU).

Baca juga: Prancis larang penangkaran lumba-lumba dan paus pembunuh

Baca juga: Paus orca kembali terlihat

Baca juga: Paus pembunuh terlihat di perairan Gorontalo


Kisaran suhu laut di Perairan Laut Kepulauan Anambas pada 01 hingga 06 April2020 berkisar 29,5 hingga 30,5 derajat Celsius, sehingga sesuai dengan teori yang ada. Hal yang menarik adalah pada parameter salinitas yang masih di bawah kisaran teoritik, yakni 33,5 hingga 33,75 PSU.

Migrasi orca, secara teori, tidak mengikuti pola musim. Pola migrasinya adalah lebih mengikuti atau memburu ikan atau mamalia kecil lain yang menjadi mangsanya.

Asumsinya, ikan-ikan yang menjadi mangsanya adalah dalam jumlah yang cukup banyak, karena biasanya orca akan migrasi dalam bentuk gerombolan. Tentunya gerombolan ikan-ikan yang dimangsa pun memerlukan daya dukung hidup yang melimpah pula, dalam hal ini plankton.

Plankton melimpah tentunya dikarenakan kondisi perairan yang subur, yang secara teoritik, diindikasikan oleh kandungan klorofil terlarut 25 hingga 200 miligram per meter kubik per hari.

Kandungan klorofil tersebut apabila dihitung secara sesaat maka konsentrasinya, menurut Widodo, sekitar 1 hingga 16 miligram klorofil terlarut di dalam 1 meter kubik air laut.

Namun, ia mengatakan di Perairan Laut Kepulauan Anambas, konsentrasi sesaat klorofil sepanjang 01 hingga 06 April 2020 diestimasi hanya sekitar 0,2 hingga 0,4 miligram per meter kubik. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil secara realita di peraitan tersebut maksimum hanya menyediakan 20 persen dari teori yang ada.

Penampakan paus pembunuh yang sebenarnya merupakan spesies lumba-lumba tersebut pernah terjadi di Teluk Tomini pada Februari dan Maret 2017, lalu Mei 2018 di Gorontalo.*

Baca juga: Paus orca tidak boleh lagi di penangkaran

Baca juga: Bintang "Jackass" bisa dituntut karena rusak rambu lalu lintas

Baca juga: Ikan paus pembunuh terjebak di es laut Kanada


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020