Jakarta (ANTARA) - Radiasi sinar gamma dengan daya tembus besar membantu memudahkan proses pelemahan virus dalam pengembangan vaksin, kata peneliti Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Mukh Syaifudin.

Syaifudin dalam penjelasan tertulis diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan teknologi nuklir dapat dimanfaatkan untuk membuat vaksin dengan memanfaatkan radiasi sinar gamma.

Dengan memanfaatkan radiasi sinar Gamma, maka proses pembuatan vaksin menjadi lebih praktis.

"Bahan vaksin dalam kemasan tertutup rapat pun dapat langsung diradiasi. Radiasi ini pun tidak merusak komponen imun vital di permukaan dari mikroorganisme sehingga masih bisa memicu respon imun atau kekebalan tubuh," katanya.

Baca juga: Tingkatkan kekebalan tubuh dengan vaksin

Baca juga: Bvlgari beri sumbangan untuk pengembangan vaksin COVID-19

Baca juga: Calon vaksin kedua COVID-19 di AS mulai uji keamanan


Secara teknis fasilitas radiasi gamma dapat dimanfaatkan untuk membuat vaksin, termasuk untuk COVID-19. Namun, mengingat tingkat penyebaran virus yang sangat cepat dan membahayakan, maka dalam pembuatan vaksin diperlukan fasilitas pendukung seperti laboratorium bio safety level 3 (BSL 3) dan alat pelindung diri (APD) yang memadai selama preparasi.

Pada prinsipnya, untuk membuat vaksin, ujar Syaifudin, dapat dilakukan dengan beberapa metode, yakni dengan pemberian bahan kimia seperti formalin, pemanasan, atau dengan radiasi sinar gamma.

Adapun tahapan pembuatan vaksin dengan memanfaatkan radiasi sinar gamma dimulai dari penyiapan sumber virus, melakukan radiasi, hingga pengujian efektivitas.

Tahapan ini dapat dikatakan pra klinis dan membutuhkan waktu enam bulan hingga satu tahun.

"Yang harus dipersiapkan tentunya tersedia vaccine seed atau virus itu sendiri yang ada di dalam inangnya yang pas, lalu dilakukan proses iradiasi, dan kemudian dilakukan pemurnian yang diikuti dengan uji efektivitas baik pada kultur sel atau hewan coba atau sukarelawan," ujar dia.

Menurut dia, radiasi sinar gamma dengan daya tembus yang besar dapat mengarah langsung ke asam nukleat tanpa merusak epitop di permukaan sel, digunakan untuk melemahkan virus sehingga diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya.

Karena ukurannya sangat kecil maka diperlukan intensitas radiasi hingga 50 kilogray untuk merusak nukleat agar virus tidak bisa memperbanyak diri.

"Ketika virus yang lemah dan tidak mampu bereplikasi atau memperbanyak diri serta tidak menimbulkan infeksi ini diberikan, maka akan memicu respon kekebalan tubuh dengan membentuk antibodi untuk menghadapi virus tersebut," kata Syaifudin.

Dalam melakukan penelitian pembuatan vaksin malaria yang pernah dilakukan, BATAN telah menggandeng beberapa pemangku kepentingan di antaranya veteriner Institut Pertanian Bogor, Naval Medical Reseacrh Unit (Namru-USA), Balitbang Kementerian Kesehatan dan Lembaga Eijkman.*

Baca juga: Madonna sumbang 1 juta dolar untuk bantu temukan vaksin corona

Baca juga: BAT kembangkan vaksin COVID-19 dari tanaman tembakau

Baca juga: Vaksin corona benarkah bisa ditemukan 18 bulan ke depan?

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020