Jakarta (ANTARA News) - Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa membela pasangan calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dari serangan yang dilancarkan Jusuf Kalla pada acara temu calon presiden yang digelar oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Di Istana Negara, Jakarta, Selasa, Hatta mengatakan Boediono saat menjabat Menteri Koordinator Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Bersatu tidak pernah menolak memberikan jaminan negara untuk proyek pembangunan listrik 10 ribu MegaWatt (MW).
"Saya tidak pernah melihat dan mendengar bahwa Pak Boediono menolak membangun listrik dan monorel. Yang jelas, yang saya tahu, Boediono sangat tidak setuju apabila harus melanggar aturan," tuturnya.
Pada acara "Kadin Temu Capres" di Djakarta Theater Senin 18 Mei 2009, calon presiden dari Partai Golkar, Jusuf Kalla, melancarkan serangan tidak langsung kepada Boediono ketika mengatakan banyak programnya yang tidak didukung oleh menteri-menteri di dalam kabinet.
Salah satu program yang ditentang itu, menurut Kalla, adalah usulannya untuk membangun pembangkit listrik 10 ribu MW yang dimaksudkan untuk menyediakan listrik murah dan tak terbatas serta mengurangi beban subsidi listrik.
Namun, pembangunan proyek yang dimulai pada 2006 dan 2007 itu menurut Kalla, tidak didukung oleh Menteri Perekonomian yang saat itu dijabat Boediono.
"Menko Perekonomian waktu itu tak mendukung, tak mau jamin karena kita tak punya uang," kata Kalla.
Meski demikian, Kalla mengatakan ia tetap memaksa keputusan itu diambil pemerintah sehingga proyek berjalan.
Hatta mengatakan sebagai menteri dalam kabinet ia tahu persis tidak pernah terjadi perdebatan yang bisa menghambat pembangunan, apalagi sampai ada menteri dalam kabinet yang tidak setuju dengan program-program pembangunan.
"Saya katakan, tidak betul. Sepanjang saya menjadi menteri, saya tidak pernah mendengar dan tidak betul kalau Pak Bediono itu menolak pembangunan 10 ribu MW," ujar Hatta yang kini menjabat Ketua Tim Sukses Nasional Pasangan Yudhoyono dan Boediono.
Sedangkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Poernomo Yusgiantoro, mengakui bahwa masalah jaminan pemerintah adalah hal yang paling banyak diperdebatkan dalam sidang kabinet yang membahas pembangunan pembangkit listrik 10 MW.
Menurut dia, saat itu dibicarakan tentang jenis jaminan yang dimintakan oleh konsorsium China untuk membangun pembangkit listrik 10 MW mengingat banyak jenis jaminan, mulai dari sovereignity, support letter, dan recognition letter.
"Jadi hati-hati, itu yang waktu itu saya juga termasuk mengingatkan. Jangan `for the sake of jaminan`, harus jelas dulu apa yang diminta. Itu yang kita angkat waktu itu dalam berbagai sidang kabinet, itu harus jelas dulu," ujar Poernomo.
Namun, lanjutnya, perbedaan pendapat dalam setiap sidang kabinet membahas pembangunan dan pengembangan proyek merupakan proses yang lumrah terjadi.
"Itu suatu dinamika. Kan harus mendapat satu proses yang cukup tajam di dalam kabinet. Jadi tidak ada masalah, tidak perlu dipersoalkan itu," katanya.
Untuk pembangunan proyek listrik 10 ribu MW, konsorsium bank-bank Cina yang akan mendanai proyek listrik 10 ribu megawatt meminta jaminan penuh pemerintah. Proyek senilai Rp 170 triliun itu ditargetkan beroperasi pada 2010.
Respons Boediono yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Perekonomian sama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menolak memberikan jaminan penuh. Alasannya, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972, badan usaha negara, badan usaha daerah, maupun perusahaan swasta dilarang menerima kredit luar negeri yang mengharuskan adanya jaminan pemerintah, termasuk Bank Indonesia dan bank milik negara.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2009