Serang (ANTARA News) - Letusan Gunung Anak Krakatau di Perairan Selat Sunda, Minggu, mencapai 27 kali sehingga status gunung tersebut masih dinyatakan "siaga" atau level III dan masyarakat hanya diperbolehkan pada radius tiga kilometer dari kawah gunung merapi itu.
Petugas pos pengamatan Gunung Anak Krakatau di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, Cahya, menyebutkan saat ini letusan Anak Krakatau mencapai 27 kali, vulkanik A (dalam) enam kali, tremor dua kali, dan tremor harmonik tiga kali.
Selain itu, Gunung Anak Kratau mengeluarkan semburan lontaran batu pijar disertai kepulan asap dan embusan yang mengandung gas beracun.
Karena itu, hingga saat ini Gunung Anak Krakatau dalam koridor siaga atau level III.
Selama ini, pengunjung dan nelayan tidak diperbolehkan mendekati kawasan gunung karena sangat membahayakan terkena lontaran bebatuan pijar.
"Sejak dua hari terakhir ini semburan pijar terlihat jelas disertai suara dentuman sebanyak 52 kali," katanya.
Sehubungan kegempaan vulkanik Gunung Anak Krakatau saat ini pengungjung hanya diperbolehkan dengan radius tiga kilometer dari titik letusan.
Apalagi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Bandung, Jawa Barat, sudah menaikkan sejak 6 Mei 2009 menjadi "siaga" atau level III.
"Bila kita mendekati Anak Krakatau dan terkena lontaran bebatuan pijar lava tentu akan berbahaya dan kemungkinan bisa meninggal," jelasnya.
Sejauh ini, aktivitas kegempaan vulkanik Anak Krakatau masih fluktuatif dengan interval antara lima sampai 10 menit.
"Dengan interval sebesar itu tentu masih berlangsug letusan, embusan, tremor dan vulkanik dangkal maupun vulkanik dalam," ujarnya.
Sementara itu, sejumlah pengunjung obyek wisata Pantai Carita, mengaku saat ini mereka sudah bersantai duduk di sekitar pantai untuk menyaksikan keindahaan Gunung Anak Krakatau mengeluarkan semburan lontaran batu pijar.
"Saat ini kami sudah melihat kemerahaan pada kawasan Anak Krakatau namun lontaran batu amsih kecil," kata Intan (45) pengunjung obyek wisata Pantai Carita.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009