Jakarta (ANTARA News) - Karir Doktor Boediono, lelaki kelahiran Blitar, Jawa Timur pada 25 Februari 1943, yang dijuluki `pemadam kebakaran` itu layaknya bola salju.
Selepas reformasi yang menurunkan kepemimpinan Presiden Soeharto, laju karir pria kalem dengan aksen jawa yang cukup kental ini terus meroket.
Berawal dari pengajar di Universitas Gadjah Mada, terus menggelinding menuju calon wakil presiden di republik ini mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu presiden pada 8 Juli mendatang.
Pria yang menjabat Gubernur Bank Indonesia sebelum mengundurkan diri untuk berkompetisi dalam pemilihan presiden itu tampaknya memang telah menjadi pilihan mati SBY.
Meski partai koalisi Demokrat seperti PKS, PPP, PAN dan PKB sempat mempertanyakan, dan sempat menunda kontrak politiknya, namun SBY tetap nekat memilih menjadikan sang `pemadam kebakaran` menjadi wakil presidennya.
Sehingga kini, pria kalem yang seringkali dinilai mampu meredam `panasnya` suasana ekonomi kini diuji juga untuk mendinginkan suasana politik yang akan dihadapi. Sebab menjadi menjadi wakil presiden merupakan jabatan yang sangat politis dimana tidak hanya berhubungan dengan birokrasi tapi juga berhubungan dengan partai-partai politik.
Karir Boediono
Dosen dan menjadi pengajar merupakan batu pijakan dalam karirnya, hingga dia tak bisa melupakannya. Meski pria yang menyukai masakan Jawa Timuran tersebut memperoleh jabatan tinggi namun ia tetap menggeluti dunia pendidikan dan mengabdikan dirinya untuk mengajar. Seolah-olah dunia pendidikan merupakan jabatan abadi yang diembannya.
Dalam dunia akademis, tentu saja Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM sangat dikenal. Buku-buku yang ditulisnya seperti pengantar ekonomi makro menjadi buku wajib para mahasiswa fakultas ekonomi di Indonesia hampir dari dua dekade lalu hingga saat ini.
Pria dengan berkacamata itu melakukan pengembaraan intelektualnya di luar negeri. Setelah menyelesaikan gelar pendidikan S1 (Bachelor of Economics (Hons)) dari Universitas Western Australia pada tahun 1967, pria yang dikenal pintar tersebut melanjutkan gelar Master of Economics diperoleh dari Universitas Monash pada 1972.
Kemudian pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar S3 (Ph.D) dalam bidang ekonomi dari salah satu sekolah ekonomi terkemuka Wharton School, Universitas Pennsylvania AS.
Di Birokrasi, hampir semua jabatan menteri negara untuk urusan perekonomian pernah dipegangnya. Boediono semasa pemerintah Orde Baru (1988-1993) menjabat sebagai Deputi Ketua Bidang Fiskal dan Moneter Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada 1993-1998, ia diangkat menjadi direktur (sekarang setingkat Deputi Gubernur) di Bank Indonesia.
Ketika kepemimpinan Orde Baru runtuh, karirnya semakin justru cemerlang. Pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie, Boediono dipilih menjadi Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999).
Pada masa pemerintahan Megawati, Boediono dipercaya untuk menduduki menteri keuangan dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004).
Ketika, SBY menang dalam pemilihan presiden 2004 mengalahkan Megawati, dikabarkan, Boediono kembali dipercaya untuk memegang menteri di jajaran perekonomian, namun ia menolaknya.
Namun demikian, namanya kembali ke panggung pemerintahan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan ("reshuffle") kabinet pada 5 Desember 2005 dan memintanya menjabat sebagai menteri di Kabinet Indonesia Bersatu yang kali ini tidak ia tolak.
Presiden menempatkan Boediono menjadi Menteri Koordinator Perekonomian menggantikan Aburizal Bakrie yang digeser menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Reputasi Boediono ketika menjalankan tugas di era Megawati konon yang menjadi daya tariknya. BussinessWeek, majalah asal AS terbitan McGraw-Hill, mengatakan pria kelahiran Blitar Jawa Timur tersebut telah membuat Indonesia kembali kepada jalan pertumbuhan ekonomi.
Kinerja Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut, menurut BussinessWeek kala itu, telah membuat rupiah mampu menguat, meningkatkan cadangan devisa, menurunkan tingkat pelarian modal, dan memacu pertumbuhan ekonomi menjadi empat persen.
"Terima kasih pada Boediono, negara ini (Indonesia) tidak lagi berada dalam jalur krisis dan memiliki kesempatan untuk menyembuhkan penyakit yang kronis," tulis BussinesWeek dalam reviewnya kepada Boediono Juni 2003, ketika memberikan penghargaan sebagai salah satu menteri keuangan terbaik Asia atau Bintang Asia.
Kepercayaan SBY semakin kuat ketika pasar bereaksi positif ketika Boediono baru saja diangkat menjadi menteri perekonomian layaknya tangan-tangan tak terlihat.
Indeks kala itu menguat 19,926 poin dan rupiah menguat ke level di bawah Rp10.000 per dolar AS. Beberapa media menyebutkan hal itu merupakan respon kepercayaan pasar atas reputasi Boediono.
Tidak hanya itu, kepercayaan SBY terhadap pria yang juga dikenal sebagai "mister" paket (karena sering mengeluarkan paket kebijakan ekonomi) juga ditunjukannya ketika memilih Boediono menjadi calon tunggal untuk Gubernur Bank Indonesia. Hal ini dilakukan setelah dua calon yang diajukan pemerintah sebelumnya Agus Martowardojo dan Raden Pardede ditolak DPR. Boediono pun menjawab dengan laju yang mulus, dipilih secara aklamasi oleh DPR.
Kepiawaian Boediono meredam panasnya suasana perekonomian diakui oleh sejumlah pengamat. Pengamat Tony A Prasetyntono yang juga merupakan salah satu teman dekatnya mengatakan Boediono merupakan sosok yang tenang dan dingin. "Pasar percaya dengan dia," katanya.
Peran Pemerintah
Memang Boediono merupakan sosok yang dikenal oleh pasar. Di sisi lain Boediono sendiri merupakan salah seorang yang sangat mempercayai pasar sebagai salah satu lembaga paling efektif dalam menggerakkan perekonomian namun juga seorang pragmatis.
"Ideologi itu memang kadangkala penting, tetapi harus kita lihat realitasnya, realitasnya hampir semua negara yang tertutup di Eropa Timur dan China kembali ke pasar," katanya ketika uji kelayakan dan uji kepatutan untuk menduduki jabatan Gubernur Bank Indonesia di Komisi XI DPR RI, setahun silam.
Ia menambahkan, dalam pengambilan kebijakan adalah bagaimana menggunakan pasar yang lebih efektif dan efisien. "Kita pecahkan bersama secara pragmatis, tidak kembali ke ideologis," katanya.
Namun saat menyampaikan pidatonya di acara deklarasi cawapres SBY, di Sabuga, Bandung, Boediono menjelaskan, ekonomi Indonesia tidak bisa hanya didasari pada perilaku pasar bebas karena untuk mengembangkan ekonomi di Indonesia saat ini masih butuh peran pemerintah.
Ia mengatakan, dalam perekonomian, peran negara masih dibutuhkan dan tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke pasar bebas. "Selalu diperlukan intervensi dengan aturan main yang jelas dan adil, untuk itu perlu lembaga pelaksana yang efektif. Itu yang harus dilakukan negara," kata Boediono.
Namun, katanya, meski peran negara masih dibutuhkan, negara juga tidak boleh berperan terlalu jauh karena akan mematikan kreativitas.(*)
Oleh oleh Muhammad Arief Iskandar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009