Rio Rancho (ANTARA News/AFP) - Presiden Barack Obama, menekan Kongres mengambil aksi bersegera untuk meredam bunga mencekik dan "fee" menjebak yang dikenakan perusahaan penerbit kartu kredit terhadap warga Amerika yang sedang terpukul resesi.
"Cukup sudah, ini saatnya untuk perlindungan yang kuat dan terpercaya kepada para nasabah kita. Kini saatnya untuk reformasi yang dibangun di atas transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban timbal balik, (yang merupakan) nilai-nilai yang fundamental bagi fondasi baru yang kita ingin bangun demi perekonomian kita," kata Obama dalam pertemuan di satu balai kota di New Mexico.
Obama menginginkan Senat meloloskan legislasi kartu kredit dan memaketkannya dengan undang-udang serupa yang telah diratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat.
"Saya mengimbau Kongres untuk mengambil langkah akhir demi meluluskan rancangan reformasi kartu kredit yang akan melindungi nasabah Amerika untuk kemudian dikirimkan ke meja saya sehingga saya bisa menandatanganinya menjadi Undang Undang pada Memorial Day (25 Mei). Tak ada waktu untuk menundanya. Kini saatnya untuk menuntaskan," kata Obama.
Terdapat sejumlah harapan bahwa RUU ini akan disetujui Senat Kamis waktu AS ini, namun dewan pimpinan Partai Demokrat telah mengumumkan bahwa tidak akan ada langkah final berkaitan dengan RUU ini sampai setidaknya Selasa pekan depan.
RUU Mengenai Hak-hak Pemegang Kartu Kredit ini berupaya melindungi nasabah dari penyesatan akad kartu yang tertera di secarik kertas kecil, memberdayakan para pemegang kartu dalam kerangka penyelesaian batas kreditnya, dan mewajibkan perusahaan penerbit kartu kredit untuk secara adil mengalokasikan pembayaran tagihan.
RUU ini juga mensasar praktik-praktik seperti pada pemasaran kartu kredit, pengenaan bunga dan denda yang mencekik, dan meningkatkan transparansi untuk warga yang berbelanja dengan menggunakan kartu kredit.
"Anda seharusnya tidak memerlukan kaca pembesar atau seorang sarjana hukum untuk membaca tulisan denda yang kadang-kadang tidak dituliskan," kata Obama kepada kumpulan ribuan orang di sebuah SMA di Rio Rancho.
Namun Obama juga berhati-hati mengungkapkan kecamannya terhadap perusahaan penerbit kartu kredit dengan hanya mengingatkan nasabah untuk waspada dan tidak berbelanja di luar kemampuannya di era pasca kredit murah yang dia persalahkan sebagai penyebab timbulnya krisis.
"Itu utang, dan anda tidak boleh mengambilnya lebih dari yang bisa anda pikul. Kami berharap nasabah mengambil pilihan-pilihan sehat dan hidup sesuai kemampuannya dan membayar apa yang mereka pinjam sesuai waktunya," imbau Obama.
Obama mencontohkan pengalaman seorang wanita di kota itu, Christine Lardner, yang menderita karena cekikan kenaikan bunga hingga 30 persen setelah dia mengemplang tagihan kartu kreditnya hingga melewati batas kredit kartunya sendiri.
"Ini menggelikan dan korup," kata Lardner.
Bank sentral AS Federal Reserve mengungkapkan bahwa rakyat Amerika ditimbuni oleh utang kartu kredit yang menggunung selama dekade lalu, yang rata-rata mencapai 7.300 dolar AS (Rp77 juta).
Begitu bunga mencekik yang melanggar ketentuan dan para pemegang kartu kredit menghadapi kesulitan membayar selama resesi ini, perusahaan penerbit kartu kredit malah mampu mengumpulkan 15 miliar dolar AS per tahun hanya dari denda keterlambatan pembayaran.
Obama telah bertemu dengan para eksekutif top perusahaan penerbit kartu kredit di Gedung Putih akhir bulan lalu dan telah menjanjikan reformasi untuk membersihkan industri ini dari pengenaan bunga dan "fee" yang mencekik konsumen, sekaligus memperbaiki sistem perlindungan nasabah.
Sebaliknya Asosiasi Bankir Amerika (ABA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit mengingatkan bahwa RUU ini akan membuat kredit terbekukan padahal saat ini pemerintah memerlukan dana untuk memacu lagi perekonomian.
Presiden dan Kepala Eksekutif ABA Edward Yingling mengeluarkan pernyataan setelah pertemuan dengan Gedung Putih, bahwa aturan-aturan baru terhadap industri kartu kredit hanya akan menambah masalah pada Obama.
"Penerbit kartu sekarang ini sulit mengimplementasikan aturan-aturan baru ini, meskipun Federal Reserve sendiri telah mengakui bahwa aturan-aturan itu akan mengerutkan ketersediaan kredit dan membuat naiknya bunga pinjaman pada sejumlah nasabah," kata Yingling.
Sementara itu, kubu Republik mengkritik rencana Obama ini dengan menyebut justru belanja pemerintah yang berlebihanlah yang membuat keuangan negara bangkrut. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009