"Tidak tepat mencampuradukkan antara koalisi partai dan posisi cawapres. Sehingga jika SBY menetapkan Boediono sah-sah saja, karena menyangkut kerjasama lima tahun mendatang," katanya dalam diskusi publik di Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Rabu.
Apalagi, lanjut dia, Yudhoyono telah melewati perjalanan hampir lima tahun bersama Jusuf Kalla yang merupakan koalisi dari Partai Golkar sebagai Presiden dan Wakil Presiden, namun hubungan di antara keduanya berjalan kurang harmonis sebagai pejabat negara.
Kondisi itu membuat SBY tidak ingin mengulangi pengalaman serupa untuk kedua kali dan tidak ingin lagi didikte oleh partai peserta koalisi dengan memunculkan nama Boediono.
Pemunculan nama gubernur Bank Indonesia itu juga bertujuan menjaga hubungan harmonis antara Partai Demokrat dan partai peserta koalisi atau hubungan sesama partai koalisi.
Sebab dengan menunjuk salah satu nama yang diusulkan partai peserta koalisi menjadi cawapres seperti PKS dengan Hidayat Nur Wahid, kemudian PAN dengan Hatta Radjasa dan PKB dengan Muhaimin Iskandar berpotensi bisa memicu hubungan disharmonis.
"Secara faktual SBY dikelilingi koalisi hijau yakni partai yang berbasis massa Islam sehingga Yudhoyono butuh penyeimbang dan memilih tokoh profesional non partai sebagai pendamping," jelas dia.
Terkait kemungkinan pembatalan partai pendukung membentuk koalisi bersama Partai Demokrat dan membentuk koalisi tandingan, menurut Sjamsuddin, kondisi itu bisa saja terjadi.
Namun masalah yang dihadapi kemudian adalah partai-partai tersebut tidak memiliki sosok dan figur yang tingkat popularitasnya seperti SBY untuk diusung sebagai capres di pilpres mendatang.
"Kemungkinan mereka merapat ke Jusuf Kalla-Wiranto, sebab kalau Parbowo tidak mungkin karena rekam jejak petinggi Gerindra dengan HAM kurang bagus. Sedangkan Megawati kemungkinan tetap menjadi calon capres dan memberi kebebasan pada konstituen untuk memilih di pilpres nanti," kata dia.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
Hidup SBY