Jakarta (ANTARA) - Pengamat Energi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mukhtasor menilai rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam menyertakan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam rencana subsidi gas untuk tarif listrik harus memiliki nilai tambah yang lebih.
Sebagai penerima manfaat harga gas sebesar 6 dolar AS per MMBTU di plant gate haruslah memiliki dasar hukum yang jelas, menurut Mukhtasor dalam informasi tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.
Selain itu, lanjut Mukhtasor, Kementerian ESDM nantinya harus memberikan penjelasan yang transparan dan memadai mengenai keekonomian produksi listrik berbahan bakar gas atau PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas).
"Kita tahu umumnya PLTG itu relatif murah. Hal ini benar terutama kalau PLTG dibangun sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional, PP 79/2014, yaitu pengembangan energi dengan mengutamakan sumber daya energi setempat,” ujarnya.
Berdasarkan Perpres No 40/2016, selain faktor keekonomian industri pengguna gas, penetapan harga gas bumi untuk industri tertentu harus mempertimbangkan nilai tambah dari pemanfaatan gas di dalam negeri.
Berdasar data American Petroleum Institute, nilai tambah ekonomi gas untuk pembangkit listrik adalah kurang dari 50 persen dibanding nilai tambah ekonomi jika gas digunakan untuk industri pertrokimia dan sebagainya.
"Bahkan penggunaan untuk komersial dan domestik masih bernilai tambah ekonomi nasional lebih tinggi. Apalagi masih ada alternatif lain sumber energi listrik selain gas, misalnya panas bumi, air dan lainnya,” ujar Mukhtasor
Baca juga: Subsidi harga berpotensi hambat pembangunan infrastruktur gas
Baca juga: Menkeu hitung dampak penurunan harga gas industri ke subsidi di APBN
Baca juga: Pemerintah perlu gencar kembangkan jaringan gas alam
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020