Guangzhou, (ANTARA News) - Pria yang rambutnya sudah memutih itu tampak bermain bulutangkis dengan seorang gadis berkaus kuning saat tim Sudirman Indonesia berlatih sore itu.
Dengan sabar ia mengarahkan shuttlecock ke kiri dan kanan untuk dijangkau gadis yang tampaknya bukan pemain bulutangkis, terlihat dari pukulannya yang lamban.
Betul, ternyata gadis itu adalah pendamping tim Indonesia selama mengikuti kompetisi Piala Sudirman di Guangzhou, China.
"Lihat, dia saja sangat semangat berlatih. Saya bilang sudah cukup, dia masih mau terus," ujar Christian yang dengan senang hati meladeni permintaan gadis itu.
Maksud ucapan Christian tentu tidak lain untuk memotivasi semangat tim Indonesia yang sudah memastikan diri lolos ke semifinal turnamen dua tahunan itu.
Itulah Christian, pecinta bulutangkis sejati yang bisa dibilang mengabdikan seluruh hidupnya untuk cabang olahraga yang selama ini membawa harum nama Indonesia di dunia internasional.
"Saya hanya melanjutkan warisan dari pendahulu yang sudah memberikan prestasi yang sangat baik pada bulutangkis. Saya hanya ingin, jika tidak bisa melebihi prestasi yang sudah diwariskan, paling tidak menjaga dan meneruskan prestasi tersebut," katanya ketika menunggu tim Indonesia menyelesaikan latihan.
Dengan alasan sederhana, menjaga warisan, pria yang tahun ini tepat berusia 60 tahun itu betah menjalani duapertiga usianya di pelatnas bulutangkis.
Ayah dua anak --yang tidak seorang pun berkecimpung di bidang olahraga itu-- masuk pelatnas sebagai pemain bulutangkis yang menjanjikan pada 1969, dan sejak itu bisa dibilang ia tidak pernah lagi meninggalkan pusat pelatihan yang dibawahi Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) itu.
Peran sebagai pemain, pelatih, pengurus di pelatnas dan PBSI mewarnai sebagian besar hidup pria kelahiran Purwokerto 11 Desember 1949.
Berhenti menjadi pemain pada 1988, ia langsung beralih profesi menjadi pelatih di pelatnas.
"Turnamen terakhir saya adalah AS Terbuka 1988, waktu itu saya berpasangan dengan Lius Pongoh dan Ivana Lie," kenang pemain spesialis ganda yang sepanjang karirnya menghasilkan sejumlah prestasi di antaranya juara All England, juara dunia, meraih medali emas Asian Games, dan enam kali memperkuat tim Piala Thomas.
Ia mengawali karir kepelatihan dengan mempersiapkan tim untuk mengikuti turnamen Piala Sudirman yang akan digelar untuk pertama kalinya pada 1989 di Jakarta.
"Waktu itu langsung sibuk mempersiapkan tim Piala Sudirman," katanya mengenai awal karirnya sebagai pelatih, menyiapkan tim Sudirman pertama untuk berlaga di Istora Gelora Bung Karno dan memenangi piala yang sekarang kembali diperebutkan untuk ke-11 kalinya.
Kemenangan itu, sejauh ini merupakan satu-satunya keberhasilan tim Indonesia di ajang kompetisi dunia beregu campuran.
Soal kedua anaknya, Mario dan Mariksa yang memilih menekuni dunia studi ketimbang menjadi atlet seperti ayah mereka, Christian menduga, keduanya khawatir tidak mampu mengimbangi prestasi ayahnya, yang sudah terlanjur punya nama besar.
"Mungkin mereka takut tidak bisa melebihi atau paling tidak menyamai prestasi ayahnya," katanya.
Sebenarnya, lanjut dia, Mariska mempunyai bakat dan ketertarikan menjadi atlet. "Dari kecil sudah saya bawa untuk berlatih di PB Djarum, yang melatih waktu itu Oom Pongoh, ayahnya Lius," kenang Christian.
"Namun karena anak perempuan biasanya manja sama ayahnya, dia juga maunya dilatih oleh saya tidak mau sama yang lain. Sementara saya sudah sibuk di pelatnas, jadinya mogok latihannya," papar Christian.
Keinginan Mariska untuk menjadi olahragawan belum pupus, kali ini ia menjajal cabang renang dengan dilatih oleh putri MF Siregar.
"Namun ketika hendak latihan, ternyata kolam renang Senayan sedang dipugar untuk persiapan SEA Games. Sejak itu ia tidak mau lagi menjadi atlet dan memilih sekolah saja," katanya.
Membicarakan keluarga tentu tidak lepas dari istri tercintanya Oke Anwar yang ia nikahi pada 1978.
Ia mengakui, aktivitasnya yang sebagian besar dihabiskan di pelatnas tidak begitu saja berjalan mulus. "Tentu saja awalnya istri protes karena merasa sering ditinggal, terutama ketika ia belum punya kesibukan," kata Christian yang dua pekan setelah menikah meninggalkan istrinya untuk mengikuti Asian Games dan menghasilkan medali emas.
"Setelah dia punya kegiatan dengan teman-temannya, masing-masing jadi punya kesibukan sendiri, sehingga paling-paling ketemunya malam," kata pria yang akrab disapa Koh Chris, yang jika tidak punya urusan lain, selalu berada di pelatnas mulai pukul 06.00 WIB hingga saat lampu pelatnas dipadamkan pada petang harinya, enam hari dalam sepekan.
Kerajinannya berlatih bulutangkis yang luar biasa itu membuat para pemain keberatan jika Christian menjadi ketua umum PB PBSI. "Nanti kalau Koh Chris jadi ketua umum, kita disuruh latihan juga hari minggu," begitu katanya meniru ucapan para pemain asuhannya, tentu saja dengan nada bergurau.
Ditanya obsesinya yang belum kesampaian, selain menjadi ketua umum PBSI, kata Christian, kali ini dengan nada serius, "Ingin merebut kembali Piala Thomas".
"Saya merasakan suka dukanya mengikuti Piala Thomas mulai dari jaman atlet, pelatih, pengurus dan ofisial sehingga piala itu sangat berarti bagi saya. Selain itu, Indonesia punya prestasi yang sangat baik pada Piala Thomas. Itulah makanya saya ingin Indonesia menang lagi. Mudah-mudahan tahun depan," katanya menutup pembicaraan.(*)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009