Dili (ANTARA News/AFP) - Bank Dunia telah dipaksa membela para konsultannya di Timor Leste setelah besar gaji para pekerja asing sewaan kementerian keuangan Timor Leste bocor ke media lokal dan menyebarkan kemarahan luas rakyat.
Kemarahan rakyat Timor Leste tertumpah pada gaji luar biasa besar yang ditawarkan pada para konsultan asing di negara di mana setengah dari jumlah penduduknya yang mencapai 1 juta orang, hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebaiknya, Bank Dunia menilai pembayaran upah yang dikeluarkan kementerian keuangan Timor Leste itu sudah sesuai dengan tingkat pasar yang berlaku secara internasional dan menyebut publikasi rincian kontrak kerja itu melanggar privasi.
"Saya prihatin bahwa privasi para pribadi (konsultan asing) ini telah dilanggar, dalam satu lingkungan yang dampaknya membuat mereka diidentifikasi sebagai para bajingan karena menerima gaji sesuai dengan tingkat pasar (standard) internasional," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Timor Leste, Nigel Roberts.
Pejabat urusan komunikasi Bank Dunia Aleta Moriarty menambahkan, publikasi rincian pribadi para profesional asing yang sangat ahli ini sungguh memprihatinkan.
"Itu bisa, jika berkembang lebih jauh, memiliki implikasi terhadap kesediaan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya di Timor Timur. Ini hanya akan berdampak negatif pada pembangunan (ekonomi Timor Leste)," kata Moriarty.
Pangkal masalahnya adalah gaji para penasehat (konsultan) internasional yang direkrut sebagai bagian dari Program Perencanaan dan Pembangunan Kapasitas Manajemen Keuangan (PFMCBP) yang merupakan proyek lima tahunan untuk memperkuat kementerian keuangan Timor Leste.
Pada 24 April, surat kabar Tempo Semanal, dalam lamannya, menerbitkan kontrak para penasehat internasional yang dipekerjakan dalam kerangka PFMCBP dengan gaji per tahun bervariasi dari 100 ribu dolar AS (Rp1,1 miliar) sampai lebih dari 500 ribu dolar AS (Rp5,5 miliar).
Kubu oposisi dari Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Timur (Fretelin) mengangkat isu ini untuk menyerang pemerintah pimpinan Perdana Menteri Xanana Gusmao.
"Keprihatinan utama kami adalah proses rekrutmen dan transparansi dalam kementerian keuangan. Kami berulangkali bertanya namun tidak pernah menerima jawaban," kata anggota parlemen dari Fretilin, Arsenio Bano.
Bano melanjutkan, "Para penasehat internasional telah dipekerjakan dengan gaji sangat tinggi di sebuah negara di mana setengah dari penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Ini tidak bertanggungjawab."
PFMCBP didanai oleh Bank Dunia dalam kerangka Bantuan Pembangunan Internasional (IDA) dengan bantuan para donor.
Para konsultan direkrut oleh kementerian keuangan tetapi sesungguhnya Bank Dunia dan negara-negara donor seperti Australia dan Selandia Barulah yang membelokan uang itu ke para ahli asing.
Seorang penasehat internasional yang dipekerjakan dalam kerangka PFMCBP mengungkapkan, publikasi kontrak kerja itu telah memperberat beban kerja yang dirasakannya sudah berat dan sulit.
Sementara Menteri Keuangan Emilia Pires menyeberang ke kubu oposisi dengan alasan pemerintah tidak lagi mau bertanggungjawab atas persoalan gaji para pekerja asing itu.
"Seluruh penasehat asing ditambah beberapa penasehat lokal dalam kementerian saya benar-benar dibayar oleh uang orang asing," kata Emilia menunjuk Bank Dunia dan negara donor.
"Kadang-kadang kami tidak cukup menjelaskan apa yang sedang kami lakukan, namun itu karena kami terlalu sibuk mencoba merengkuh hasil-hasil (program ekonomi) dan meningkatkan penghidupan rakyat kami."
Sebaliknya, Aleta Moriarty dari Bank Dunia mengungkapkan para konsultan telah mencatat hasil memuaskan yang bermanfaat luas untuk rakyat Timor Leste.
"Realisasi anggaran meningkat dari 76 juta dolar AS pada 2005-2006 menjadi 550 juta dolar AS pada 2008," terang Moriarty.
"Realisasi belanja, bersama dengan pengeluaran untuk infrastruktur, barang dan jasa, diperkirakan telah menyumbang 12 persen pertumbuhan ekonomi (Timor Leste). Hasil ini dapat tercapai karena kerja para konsultan PFMCBP," kata Moriarty membela diri. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009