Saya sekarang hanya tinggal di rumah bersama keluarga.

Kabul (ANTARA) - Berdiri di atas atap rumahnya, Massoud menarik tali senar, membiarkan layang-layangnya melambung tinggi di atas rumah-rumah yang dicat warna-warni di permukiman Kabul.

Seperti halnya anak berusia 12 tahun, banyak anak-anak bermain di atas atap rumah di tengah sunyinya ibu kota Afghanistan, menikmati sinar hangat pertama matahari musim semi atau mengejar layang-layang satu sama lain.

Namun tidak seperti banyak anak lain, waktu senggang ini tidak biasa bagi Massoud hingga setelah munculnya virus corona. Ia biasanya menghabiskan sore harinya untuk bekerja di jalan-jalan Kota Kabul untuk mengumpulkan uang bagi keluarganya.

"Sekolah saya tutup sekarang dan saya tidak bisa bekerja," kata Massoud yang fokus memainkan layang-layang.

"Saya sekarang hanya tinggal di rumah bersama keluarga."

Baca juga: Pasien corona di Afghanistan bertambah jadi empat orang
Baca juga: Perlambat penyebaran corona, Afghanistan akan bebaskan 10.000 tahanan

Massoud adalah salah satu dari 60 ribu anak-anak yang bekerja di jalan-jalan Afghanistan, menurut perkiraan Dana Anak-Anak PBB (UNICEF).

Dia telah menjalani berbagai macam pekerjaan selama bertahun-tahun, mulai dari membantu berjualan sayuran, mengisi bensin untuk motor-motor, hingga menjual kantong plastik.

Sedikitnya seperempat dari jumlah anak-anak Afghanistan berusia 5-14 tahun bekerja untuk menghidupi diri sendiri atau keluarga, menurut laporan Human Rights Watch yang dirilis pada 2016, dan hanya separuh di antaranya yang bersekolah.

Namun dengan munculnya wabah virus corona, anak-anak dan keluarga mereka terkurung di rumah masing-masing, meningkatkan kekhawatiran bagaimana keluarga-keluarga ini akan mengatasi penurunan pendapatan mereka.

Di bagian lain kota, Adbul Sabur, seorang pekerja kasar berusia 43 tahun dan ayah dari lima anak, mengatakan ia tidak lagi membiarkan anak-anaknya pergi ke luar rumah mereka di Kabul, tetapi mengatakan sulit baginya untuk mengikuti aturan tersebut.

Kota berpenduduk enam juta jiwa itu dikarantina pada 28 Maret untuk menghambat penyebaran virus corona, dengan kantor, transportasi umum, dan sebagian besar bisnis tutup.

Tindakan keras

Banyak orang pada awalnya menentang pembatasan gerakan. Mereka tetap bekerja dan berusaha menjaga pasar tetap terbuka, tetapi polisi sejak itu menindak tegas dan mendirikan pos pemeriksaan di kota.

Polisi menahan orang-orang yang melanggar aturan pembatasan dan memerintahkan mereka untuk pulang.

Sabur, dengan pendapatan bulanan sekitar 10.000 Afghani (sekitar Rp2,1 juta), khawatir akan sulit memenuhi kebutuhan hidup selama masa karantina karena ketiga putranya selalu membantu menambah pendapatannya.

"Tidak ada pekerjaan berarti tidak ada uang. Kami sudah makan dengan porsi lebih sedikit daripada biasanya dan berusaha semampu kami," katanya.

Anak-anaknya tidak terlibat dalam kerja paksa, tambahnya.

"Anak-anak saya menjual kantong plastik di jalanan, menghasilkan sekitar 80 Afghani (sekitar Rp17 ribu) dalam sehari," katanya, kemudian menambahkan bahwa kedua putrinya tetap tinggal di rumah tetapi semua anak-anaknya bersekolah.

Sabur, mengatakan keluarganya "berusaha menemukan kegembiraan dalam hidup, bahkan dalam masa isolasi dan kesulitan".

Sekitar 380 kasus virus corona telah dikonfirmasi di Afghanistan dengan tujuh kematian, termasuk satu dokter yang merawat pasien COVID-19.

Selama beberapa minggu terakhir, ratusan ribu buruh migran telah kembali dari negara tetangga Iran, mengakibatkan peningkatan jumlah infeksi di Afghanistan.

Namun dengan tes terbatas yang tersedia dan banyak yang tidak segera mengakses perawatan medis ketika sakit, angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.

Bahaya di jalanan

Sebelum pandemi, Departemen Kesehatan Masyarakat telah mengalokasikan 5 dolar AS (sekitar Rp81 ribu) per warga per tahun untuk perawatan kesehatan di negara berpenduduk 35 juta orang dan sekarang sedang berjuang untuk mendapatkan dana lebih lanjut.

Di Afghanistan, negara yang telah menghadapi perang selama empat dekade dan terus-menerus melihat pertempuran setiap hari, karantina membuat banyak orang gamang antara takut tertular virus corona dan takut kelaparan karena meningkatnya pengangguran.

Pekerja anak adalah sumber pendapatan utama bagi banyak keluarga dan secara hukum setempat anak-anak diizinkan bekerja hingga 35 jam seminggu sejak usia 14 tahun.

Namun kelompok-kelompok bantuan dan hak asasi manusia secara rutin mencemooh undang-undang pekerja anak, karena banyak anak-anak menghadapi pelecehan dan kekerasan di tempat kerja.

"Ada banyak bahaya di jalanan," kata Sonia Nezami, direktur pendidikan Action for Development, sebuah organisasi bantuan Afghanistan yang membuat pekerja anak menjauhi jalanan dan masuk sekolah.

"Anak-anak terkadang dianiaya dan diteriaki. Mereka dianggap buruh murah dan mungkin bekerja keras tetapi berpenghasilan sedikit."

Ketika karantina diberlakukan ke seluruh Afghanistan, banyak keluarga merasa khawatir karena tidak memiliki penghasilan.

Sabur mengatakan dia khawatir tentang kehilangan uang tetapi beruntung memiliki rumah dengan struktur bata lumpur yang diplester dengan cat putih, yang dia yakin akan berhasil melewati pandemi.

"Akhir-akhir ini, anak-anak saya memanjat atap untuk bermain, atau kami berkumpul untuk piknik di kebun," katanya.

"Kami menghabiskan lebih banyak waktu dengan satu sama lain. Kami mendengarkan. Tidak ada yang diizinkan masuk dan keluar, tetapi setidaknya kami memiliki satu sama lain. Kami masih tertawa dan bercanda. Itu penting."

Sumber: Thomson Reuters Foundation

Baca juga: Menlu Pompeo tiba di Kabul di tengah pandemi corona
Baca juga: Krisis COVID-19, Taliban dan Afghanistan runding damai via Skype

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020