Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk memperbaiki sistem tata kelola pemasyarakatan.
"Upaya pemberantasan korupsi pada sektor pelayanan publik salah satunya dilakukan KPK melalui perbaikan sistem tata kelola pemasyarakatan. Perbaikan diberikan melalui kajian sistem yang dilakukan pada tahun 2018," ucap Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding melalui keterangannya di Jakarta, Selasa.
Ia menyatakan permasalahan pemasyarakatan yang ditemukan di antaranya terkait lima isu utama, yaitu kerugian negara sekurangnya Rp12,4 miliar perbulan akibat permasalahan "overstay" (kelebihan waktu tinggal), lemahnya mekanisme "check and balance" pejabat dan staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) rutan/lapas dalam pemberian remisi.
Selanjutnya, diistimewakannya narapidana tindak pidana korupsi di rutan/lapas umum, risiko penyalahgunaan kelemahan sistem data pemasyarakatan, dan risiko korupsi dalam penyediaan bahan makanan.
Sementara terkait permasalahan over kapasitas, KPK kemudian merekomendasikan tiga upaya pengurangan over kapasitas tersebut.
"Pertama, bekerja sama dengan BNN (Badan Narkotika Nasional) dan mengoptimalkan peran Bapas (Balai Pemasyarakatan) melalui mekanisme diversi untuk kasus tindak pidana ringan dan pengguna narkotika. Saat ini, terdapat sekitar 40 ribu napi pengguna narkoba yang sangat mungkin untuk direhabilitasi dan bukan masuk ke lapas," ucap Ipi.
Tindak lanjut yang direkomendasikan oleh KPK adalah agar Kemenkumham bekerja sama dengan BNN dan saat ini rekomendasi tersebut belum dilakukan.
Kedua, menyelesaikan masalah tahanan "overstay". Ia mengatakan saat kajian pada 2018 ditemukan sebanyak 30 ribu narapidana yang "overstay".
"Akhir tahun 2019 tersisa 2 ribu dan saat ini sudah tidak ada tahanan "overstay" terutama untuk tahanan Kepolisian," ungkap dia.
Penyelesaian atas persoalan itu, kata Ipi, sudah dilakukan dengan bekerja sama kepada aparat penegak hukum (APH) lainnya.
Ketiga, pemberlakukan remisi berbasis sistem. Artinya, ucap Ipi, remisi diberikan secara otomatis melalui sistem dan bukan melalui permohonan dengan catatan narapidana tidak memiliki kelakuan buruk.
Baca juga: 30.000 napi dibebaskan, anggaran negara hemat Rp260 miliar
Praktik saat ini remisi masih diberikan melalui usulan dari UPT lapas/rutan.
"Jika rekomendasi ini dijalankan, maka persoalan "over capacity" akan berkurang signifikan. Dari dua rekomendasi pertama di atas, yaitu mengeluarkan napi narkoba dan penyelesaian "overstay" maka sekurangnya 30 persen dari total 261 ribu napi dapat dikurangi dari lapas. Mengeluarkan napi koruptor bukan solusi, karena jumlahnya hanya sekitar 5 ribu napi," tuturnya.
Sebagai tindak lanjut kajian, ia mengatakan pada 2019, KPK dengan fungsi koordinasi melakukan pemantauan atas saran perbaikan yang telah diberikan tersebut.
"Tahun 2019 juga merupakan tahun pertama pemantauan pelaksanaan rekomendasi atas Kajian Tata Kelola Sistem Pemasyarakatan," ujar dia.
Baca juga: 646 napi-anak di Bali mulai dibebaskan cegah penyebaran Covid-19
Baca juga: Asimilasi rumah bagi 63 napi di Sulbar
Baca juga: Kemenkumham patuhi Presiden tak bebaskan napi koruptor
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020