Jakarta (ANTARA) - Mencermati jalannya pemberitaan soal wabah corona virus penyebab COVID-19 di Indonesia, media lebih banyak menyoroti soal kesehatan, aturan sekolah dan aturan kerja, dampak sosial, dampak ekonomi dan aturan hukum yang dipakai untuk membatasi aktifitas sosial.

Pemberitaan selalu membuat stres masyarakat karena menyajikan laju kematian, laju sebaran virus di sejumlah kota, dan informasi kelangkaan sarana kesehatan seperti rapid test, ventilator, masker, dan alat pelindung diri.

Tone negative yang setiap hari didapat membuat orang semakin pesimistis, apalagi masih banyak warga yang tidak mentaati imbauan untuk tetap di rumah.

Yang paling ramai adalah perdebatan soal karantina wilayah atau lockdown dan payung hukum untuk pembatasan sosial agar lebih ditaati masyarakat.

Namun, ada yang luput dari perhatian adalah soal bagaimana kita mengamankan produksi pangan dalam negeri, dan bagaimana rantai suplai tetap berjalan sampai menjangkau ke rumah-rumah sehingga tak ada lagi warga yang keluyuran mencari bahan makanan.

Juga bagaimana usaha pertanian jangan sampai terimbas lebih parah akibat harga jual yang jatuh sehingga pengusaha agribisnis akhirnya mulai menghitung untuk berhenti berproduksi karena hitung-hitungannya akan rugi.

Pengusaha peternakan ayam dan perikanan di sejumlah daerah mulai cemas karena pasokan pasar ke kota-kota terganggu sehingga harga jual ayam dan ikan di tingkat petani menurun.

Padahal di tingkat konsumen di perkotaan harga justru makin tinggi, sebagai contoh ayam broiler di tingkat kandang hanya Rp6.000 per kilogram ayam hidup, sementara harga daging karkas ayam pedaging justru bergerak sampai Rp35.000 per kilogram.

Demikian juga harga lele yang turun Rp1.000 sampai Rp2.000 per kilogram di tingkat petani, sementara harga pakan justru naik antara Rp400 sampai Rp700 per kilogram. Padahal sampai saat ini harga beli konsumen di pasar dan satu porsi pecel lele masih tetap stabil.

Sepinya pusat perbelanjaan dan pusat kuliner juga ikut memukul para supplier bahan makanan sehingga akhirnya sulit lagi memprediksi berapa persen pasokan yang harus mereka bawa ke pasar-pasar di kota. Banyak yang beralih menjual secara daring atau online tapi lebih banyak lagi yang tidak siap akhirnya pedagang kuliner kaki lima yang memilih mudik ke kampung.

Sejumlah pekerja di pertokoan, pusat kuliner dan pekerja informal seperti tukang ojek onlie yang juga memilih pulang kampung karena tidak ada kepastian pendapatan di kota.

Dalam rapat terbatas yang digelar Senin (30/3), Presiden Joko Widodo juga mengakui bahwa banyak pekerja informal di Jabodetabek yang terpaksa pulang kampung karena penghasilannya menurun sangat drastis atau bahkan hilang sebagai imbas dari penerapan status tanggap darurat yang membatasi aktivitas warga.

Selain perlu juga perlu diperhitungkan ribuan TKI Malaysia baik legal maupun illegal yang kembali ke kampung mereka.

Baca juga: Petani diimbau giat bercocok tanam antisipasi kesulitan pangan

Makin berat

Kembalinya kaum urban ke desa-desa dan para pekerja migran diperkirakan tidak akan bisa dibendung jika tidak ada solusi pekerjaan bagi mereka. Beban desa akan semakin berat karena selain berjaga-jaga dari penularan COVID-2019 yang dibawa kaum urban, juga harus menyiapkan kebutuhan mereka dan memberi peluang lapangan kerja.

Sudah banyak desa-desa yang membuat aturan ketat bagi pendatang dari wilayah terjangkit seperti wajib karantina 14 hari di rumah. Bagi mereka yang mempunyai bekal dan dari keluarga mampu tentu tidak jadi masalah tetapi bagi mereka yang baru di-PHK dan keluarga di desa bukan orang berada, tentu karantina menjadi masalah karena perlu asupan gizi untuk tetap sehat.

Karantina di rumah-rumah di pedesaan bukan berarti terkurung saja di rumah, tetapi bisa membuat usaha rumahan atau usaha di pekarangan mereka. Yang penting social distancing dan physical distancing tetap dijalankan.

Seperti masyarakat Italia yang menganggap sepele soal penyebaran COVID-19, diperkirakan sebaran virus di kota-kota besar di Indonesia juga akan terbawa oleh kaum urban dan masuk sampai ke pelosok desa.

Per 5 April 2020 saja sebaran COVID-19 sudah menjangkau 29 provinsi dengan positif terkena corona sebanyak 2.273 orang yang setengahnya berada di DKI sebanyak 1.124 orang. Tanpa larangan tegas untuk mudik ke kampung, diperkirakan makin banyak daerah yang tertular virus ini.

Dan dengan keterbatasan rumah sakit menyediakan ruang perawatan, dua tiga bulan ke depan, harus disiapkan strategi untuk menahan orang yang positif COVID-19 atau karantina mandiri di rumah-rumah mereka di desa-desa.

Apa yang harus dilakukan desa untuk menguatkan ketahanan pangan, ini yang harus dipersiapkan Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Kementerian Koperasi dan UMKM.

Harus ada kebijakan saling sinergi dari keempat kementerian itu untuk menyiapkan berbagai program penguatan cadangan pangan yang cukup di desa-desa, sekaligus memberdayakan kaum urban yang telah kehilangan pekerjaan mereka. Penguatan cadangan pangan di desa juga akan berperan untuk menguatkan cadangan pangan daerah bahkan nasional.

Presiden Joko Widodo juga mengatakan program perlindungan sosial dan stimulus ekonomi bagi pelaku usaha informal dan UMKM harus segera diterapkan.

"Saya minta percepatan program social safety net atau jaring pengaman sosial, yang memberikan perlindungan sosial di sektor informal dan pekerja harian maupun program insentif ekonomi bagi usaha mikro, usaha kecil, betul-betul segera dilaksanakan di lapangan," ujar Jokowi.

Semoga kementerian terkait bisa bersinergi untuk menguatkan ekonomi desa sekaligus memberdayaan pekerja informal atau kaum urban yang kembali ke desa mereka.

Kemendes PDTT sudah mengeluarkan program Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dan alangkah baiknya sebagian diarahkan untuk penguatan cadangan pangan dengan dukungan dari kementerian lain.

Jangan jadikan masuknya kaum produktif dari perkotaan menjadi beban, tetapi berikan mereka bantuan untuk menggenjot produksi di desa, khususnya menyiapkan cadangan pangan bagi desa dan bagi kota-kota sekitarnya. Berikan bantuan benih tanaman, bibit ternak dan ikan, serta permodalan sekaligus mengamankan harga jual agar ekonomi desa tetap jalan.

Baca juga: PBB jaga bantuan pangan Afrika di tengah wabah corona

Beli Produksi Desa

Yang penting juga jangan sampai kelebihan produksi di desa menjadi sulit di pasarkan ke kota karena terganggunya sistem rantai suplai, perlu dibuat rantai suplai yang tidak merugikan petani di desa. Kalau perlu semua produksi harus dibeli dengan wajar agar ekonomi desa tidak terganggu.

Setiap dinas di kabupaten/kota bisa bergerak untuk mendata komoditi apa yang sudah terganggu rantai pasokannya lalu mencari solusi dengan kementerian terkait agar usaha yang sudah berjalan di desa tidak sampai gulung tikar.

Pemasaran komoditi pertanian bisa kerja sama dengan Toko Tani Indonesia yang dibina Kementerian Pertanian dan sudah melakukan pembelian secara online atau toko-toko online yang ada di kota-kota kecil di seluruh Indonesia.

Buat klaster-klaster produksi di wilayah kabupaten, seperti peternakan ayam, kambing, sapi, ikan, lebih baik lagi disertai pengolahan di desa sehingga pasokan ke kota cukup dalam keadaan terkemas ada ayam, daging dan ikan bumbu yang siap dimasak warga kota yang sedang melakukan karantina.

Lonjakan kebutuhan rempah-rempah seperti jahe, kencur, temulawak dan kunyit harus disikapi sebagai peluang usaha di desa, Bayangkan harga jahe di pasaran melejit sampai Rp70 ribu per kilogram, yang jahe merah bahkan sampai Rp85 ribu per kilogram. Padahal sebelumnya jahe pasaran hanya Rp20 ribu-Rp25 ribu per kilogram sementara biaya produksinya sekitar Rp10 ribu sampai Rp15.000 per kilogram.

Belum lagi jika dibuat kemasan jahe siap seduh yang saat ini berkisar antara Rp90 ribu sampai Rp100 ribu per kilogram, tentu ada peluang usaha jamu seduh kemasan yang bisa dipasarkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Dengan dukungan dana desa dan dana program lintas kementerian, maka desa harus bisa menangkap peluang di tengah wabah COVID-19. Jangan ada tanah sejengkal pun di desa yang dibiarkan tidak tergarap dan buat sebanyak mungkin industri rumahan yang mampu mengolah hasil pertanian setempat.

Desa harus belajar subsisten atau mampu mencukupi kebutuhannya sendiri untuk mengurangi mobilisasi warga antardesa.

Kalaupun sulit untuk ukuran desa karena keterbatasan sumber daya maka paling tidak kebutuhan setiap kecamatan bisa disediakan dengan pembagian peran antardesa, dengan demikian bisa ikut mengurangi pergerakan warga dan bisa ikut andil mencegah menyebarkan COVID-19.

Baca juga: Denpasar rancang lumbung pangan antisipasi dampak COVID-19

Copyright © ANTARA 2020