Jakarta (ANTARA News) - Hasil laporan lembaga pangan dunia atau Food Agriculture Organization (FAO) pada 2008, setidaknya ada 24 ribu nelayan di dunia tewas di laut saat bekerja akibat pengaruh cuaca ekstrim.
Hal tersebut disampaikan pembicara, M.Riza Damanik, Sekretaris Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Koalisi Rakyat untuk Keadilan (Kiara), saat serasehan dengan Forum Komonitas Nelayan se-Jakarta (FKNJ), di Marunda, Kepu Jakarta Utara, Kamis.
Menurut dia, faktor tersebut akibat semakin meningkatnya pengaruh laut di mana dinamika ozonigrafinya cuaca semakin ekstrim sehingga nelayan tidak lagi mampu beradaptasi dalam situasi seperti itu.
Respon masyarakat itu, perlu dipertimbangkan dalam upaya mengatasi berubahan iklim. Di Indonesia sejak akhir bulan tahun 2008 ditelusuri hingga Maret 2009, setidaknya ada 46 orang nelayan tewas akibat kecelakaan di laut.
Menurut dia, sebagaian besar disebabkan cuaca ekstrim karena gelombang yang semakin tinggi dan situasi iklim yang tidak biasa seperti tahun-tahun sebelumnya.
Ia mengatakan, mulai bulan Pebruari tahun ini, dari Sabang sampai Merauke seharusnya perairan sudah tenang dan gelombang tinggi itu sudah berhenti.
Namun, nelayan hingga bulan April 2009 masih dirasakan ada gelombang tinggi disejumlah daerah, maka para nelayan tidak bisa melaut, Jika mereka dipaksakan melaut implikasinya acaman keselamatan cukup tinggi.
"Selama 2008 dari catatan kami rata-rata nelayan melaut 180 hari. Artinya, sebagian besar hari nelayan kita tidak melaut," katanya.
Nelayan tidak melaut itu disebabkan oleh empat faktor yang pertama akibat cuaca ekstrim, masalah terkait dengan bahan bakar, perairan yang tercemar, dan alat nelayan yang terbatas.
"Akibat keempat faktor inilah nelayan kita sepanjang 2008 tidak melaut," katanya.
Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan tolak adaptasi mereka justru mengoptimalkan perahunya. Mereka hanya mengoperasikan enam perahunya dari 10 perahu yang ada.
"Sehingga, rata-rata sekitar 40 persen perahu tidak melaut. Mereka satu perahu hanya empat orang, tapi untuk meminimal pengeluaran bertambah enam orang," katanya.
Kondisi tersebut, belum diserap dalam kebijakan nasional. Jika melihat yang namanya Undang-Undang perikanan dan kebijakan dalam kontek kesejateraan nelayan itu bisa mengadopsi bagaimana usul konkritnya.
Menurut dia, usul konkritnya yang realistis hari ini bagi negara mendorong keadilan perikanan.
Pertama, yang paling mutlak harus dilakukan oleh negara adalah memberikan pengakuan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional misalnya di laut Jawa.
"Negara harus melindungi 1-4 mill wilayah perairan tradisional supaya tidak dicemari atau dibuang limbah di sana," katanya.
Selain itu, negara harus memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak, baik sebagai warga negara maupun konstitusi sebagai nelayan tradisional, pendidikan, dan energi yang sangat minim sekali diterima.
Nelayan tradisional paling rentan terhadap acaman perubahan iklim dan akan mempengaruhi ekonomi dan jiwa mereka sehingga penting bagi negara untuk memberikan ansuransi.
Nelayan tradisonal itu, sehingga bisa terlindungi terhadap aspek kesehatan dan keselamatan. Selain itu, pentingnya juga terhadap aspek informasi sebagai hak khusus nelayan.
"Cuaca diinformasikan dan dikonsumsi hanya para intelektual dan tidak sampai ke nelayan kita," katanya.
Jika informasi itu sampai ke nelayan maka mereka tahu kapan dapat pergi maupun tidak boleh melaut dan bagaimana mereka beradaptasi jika tidak dapat melaut.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009