Agustianto mengatakan, rezim mata uang yang diterapkan Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya saat ini sangat tergantung pada dolar AS sehingga menyebabkan nilai tukar sering mengambang (Floating Exchange).
Kondisi ini mengakibatkan nilai tukar mata uang beberapa negara Asia tidak pernah stabil dan berbeda antar satu negara dengan lainnya sehingga menguntungkan spekulan dengan mempermainkan jumlah uang beredar guna mendapatkan nilai tukar tertarget.
Dia mengemukakan, meskipun memerlukan waktu dan kerja keras, Indonesia dapat menerapkan konsep standar mata uang emas itu bekerja sama dengan negara tetangga yang ingin mewujudkan stabilitas nilai tukar seperti telah dilakukan Eropa dengan euro.
Negara-negara Eropa, khususnya Eropa Timur, telah belajar dari pengalaman stabilitas ekonominya sering tidak menentu akibat sangat tergantung dengan dolar AS.
"Akhirnya, negara-negara Eropa itu berhasil mengatasi ketergantungan mereka sehingga berani mengucapkan `good bye US dollar," katanya.
Kebijakan moneter yang menggantungkan pada dolar AS, dilakukan pemerintah hanya untuk kepentingan jangka pendek dan bersifat situasional, padahal pola kebijakan seperti itu tidak akan pernah membuat rupiah stabil.
"Meski saat ini menguat tapi rupiah bisa anjlok tiba-tiba," katanya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tren menguat dalam beberapa bulan terakhir hingga mencapai Rp10.490/10.500 per dolar AS pada Senin (4/5).
Kurs rupiah di pasar spot antar bank Jakarta, Selasa (5/5) sore kembali menguat 80 poin menjadi Rp10.410/10.420 per dolar AS dengan volume besar yang menunjukkan semakin besarnya aliran dana ke pasar.
Kurs rupiah pernah menguat ke posisi tertinggi pada akhir 2004 di level Rp9.000 per dolar AS namun juga pernah terjun bebas hingga Rp15 ribu ketika Indonesia menghadapi krisis moneter tahun 1998. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009