Yogyakarta (ANTARA News) - Kepolisian dan Kejaksaan Agung, dua lembaga negara yang bertugas menangani perkara hukum, perlu bersikap transparan dalam mengangani perkara yang melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif Antasari Azhar.
"Kedua lembaga ini diharapkan menjalankan tugas secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun karena kasus ini sangat sensitif dan mengandung banyak muatan politis," kata Direktur Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi, Zainal Arifin Mochtar, Rabu.
Polda Metro Jaya yang menyelidiki kasus Antasari Azhar, Senin (4/5) menetapkan Ketua KPK non-aktif sebagai tersangka setelah sebelumnya berstatus saksi dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen pada 14 Maret di Tangerang, Banten.
Zainal juga berharap KPK tetap bekerja profesional dalam pemberantasan korupsi meski telah menonaktifkan ketuanya.
"Ketua KPK memang seharusnya dinonaktifkan dari jabatannya karena penting untuk menjaga integritas KPK dan kepercayaan publik," ujarnya.
Agar kasus serupa tidak terulang, maka seharusnya ada tes psikologi dalam seleksi calon pejabat publik, tidak hanya KPK.
Menurut dia, pola seleksi dan pengangkatan pejabat publik masih kental dengan aroma politis sehingga berpotensi menghasilkan pejabat yang jauh dari harapan masyarakat.
"Yang terjadi sekarang ini pejabat publik itu pilihan DPR, bukan pilihan publik," katanya.
Proses seleksi pejabat melalui legislatif sudah seharusnya diubah dengan membentuk panel pakar yang menyeleksi calon anggota komisi atau pejabat negara untuk kemudian direkomendasikan ke DPR, demikian Zainal. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009