Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) memprotes niat Menteri Hukum dan Hak Asasi Yasonna H Laoly untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 agar narapidana kasus korupsi yang telah berusia di atas 60 tahun yang telah menjalani 2/3 masa tahanannya dapat dibebaskan.
"Niat Menteri Hukum dan HAM untuk mempermudah narapidana korupsi terbebas dari masa hukuman semakin akan menjauhkan efek jera," kata Peneliti Divisi Hukum ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Presiden diminta tolak usulan revisi PP 99/2012 terkait napi korupsi
Baca juga: KPK sambut positif usulan revisi PP 99/2012 terkait napi koruptor
Sebelumnya Menkumham Yasonna H Laoly dalam rapat kerja virtual bersama Komisi III DPR pada Rabu (1/4) mengatakan ingin merevisi PP No 99 Tahun mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Sebelumnya pemerintah telah resmi dikeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 sehingga berencana membebaskan 300 ribu narapidana dewasa dan anak.
Pada bagian Kedua huruf a dan b disebutkan bahwa asimilasi dan pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi kejahatan yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012, termasuk napi korupsi.
"Ini artinya Menkumham tidak memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Mempermudah narapidana korupsi untuk terbebas dari masa hukuman bukan merupakan keputusan yang tepat," tambah Kurnia.
Apalagi data Data ICW menunjukkan rata-rata vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bagi pelaku korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi ditambah dengan situasi maraknya praktik korupsi di lembaga pemasyarakatan sehingga bila kebijakan tersebut terealisasi maka ke depan pelaku korupsi tidak akan lagi jera untuk melakukan kejahatan tersebut.
Jumlah narapidana korupsi juga tidak sebanding dengan narapidana kejahatan lainnya. Data Kemenkumham pada 2018 menyebutkan bahwa jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang dan 4.552 orang diantaranya adalah narapidana korupsi.
Artinya narapidana korupsi hanya 1,8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan sehingga akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi
"Tidak ada kaitannya pembebasan napi korupsi sebagai pencegahan COVID-19. Hal ini disebabkan karena Lapas Sukamiskin justru memberikan keistimewaan satu ruang sel diisi oleh satu narapidana kasus korupsi, justru ini bentuk 'social distancing' yang diterapkan agar mencegah penularan," tegas Kurnia.
ICW pun mencatat bahwa pada periode 2015-2019 Yasonna Laoly telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan pada tahun 2019 melalui Revisi UU Pemasyarakatan. Isu yang dibawa selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman.
Baca juga: Ahli hukum sebut pembebasan napi karena alasan COVID-19 kurang tepat
Baca juga: 30.000 napi dibebaskan, anggaran negara hemat Rp260 miliar
Padahal PP 99/2012 diyakini banyak pihak sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi.
"Kami mendesak Presiden Jokowi dan Menkopolhukam menolak wacana Yasonna Laoly untuk melakukan revisi PP 99/2012 karena tidak ada relevansinya dengan pencegahan penularan COVID-19. Presiden juga diminta untuk menghentikan pembahasan sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan yang kontroversial saat bencana nasional COVID-19 berlangsung," ungkap Kurnia.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020