Makassar (ANTARA News) - Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa Makassar berakhir bentrok dengan aparat polisi yang sedang melakukan pengamanan di kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Senin.
Keributan itu dipicu setelah sejumlah mahasiswa berusaha menurunkan bendera merah putih yang ada di depan kantor Gubernur Sulsel. Beberapa mahasiswa lainnya memancing emosi polisi sehingga menyebabkan bentrokan di halaman kantor Gubernur Sulsel.
Pantauan yang dilakukan di lokasi aksi, halaman kantor Gubernur Sulsel yang hanya dipenuhi dengan tanaman itu langsung berubah dengan banyaknya batu lemparan mahasiswa yang berserakan sehingga membuat polisi dari gabungan Polda Sulselbar, Polwiltabes Makassar serta jajaran Polresta Makassar Timur mengejar mahasiswa keluar.
Suara tembakan peringatanpun berbunyi beberapa kali dan gas air mata juga dilemparkan ke kerumunan massa agar mereka mundur dari halaman kantor Gubernur Sulsel.
Polisi yang tidak terima dengan lemparan batu serta kayu mahasiswa balik mengejarnya dan hasilnya sekitar 37 mahasiswa harus diamankan aparat kepolisian untuk dimintai keterangannya di dalam kantor Gubernur Sulsel.
Dari kejadian itu tidak sedikit korban yang mengalami luka-luka. Terlihat tiga polisi dari Patmor Polda Sulselbar serta Brimob tersebut memeriksakan kepalanya yang bocor serta pelipisnya yang luka ke tim medis Dokter Kepolisian (Dokpol) akibat lemparan batu mahasiswa.
Dalam aksinya, mereka mengatakan bahwa angka pengangguran terdidik semakin bertambah pada 2008 yang telah mencapai 4,5 juta jiwa.
Angka putus sekolah pun meningkat. Berdasar survei pada 2008, pengunjukrasa merilis data bahwa pada tingkat sekolah dasar (SD) mencapai 841 ribu anak, sementara pada tingkat SLTP mencapai 211.643 anak.
"Putus sekolah itu disebabkan karena kemiskinan," ujar seorang mahasiswa dalam orasinya.
Mahasiswa itu juga mengatakan, Dirjen Dikti pernah mengeluarkan kebijakan diskriminatif terhadap perguruan tinggi dengan menyatakan tidak ada kenaikan SPP, hanya dana tambahan BOP, POM dan Dana Penunjang Pendidikan (DPP) sebagai pembantu peningkatan kualitas pendidikan.
Namun kenyataannya, lanjut mahasiswa, kebijakan tersebut menjadi legalitas untuk melakukan praktek pungli pada kelompok mahasiswa.
Hal tersebut dapat dilihat pada munculnya kelas bilingual yang pada prakteknya tidak sesuai dengan visi-misi pendidikan bilingual.
Mahasiswa mengatakan, praktek pungli itu juga dapat dilihat pada pungutan uang pangkal mahasiswa baru yang dinilainya tidak obyektif serta banyaknya jalur penerimaan mahasiswa baru diluar SPMB.
"Ini adalah gambaran dunia pendidikan yang secara tidak sadar sudah menerapkan praktek BHP, " katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009
kemiskinan dan putus sekolah masih semakin bertambah ....