Jakarta (ANTARA News) - Sekolah Bobi hanya sebuah SMA Negeri di pinggiran Jakarta Timur, namun ketika masuk, Bobi harus membayar uang pangkal yang disebut IPDB (iuran peserta didik baru) hingga Rp3,6 juta dan iuran bulanan yang dulu disebut SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) Rp200 ribu.

Namun sekolahnya menganggap ayah Bobi, Sukresna, dan para wali murid lainnya belum membayar terlalu banyak dan memaksanya menguras sakunya lebih dalam lagi dengan menambahkan biaya-biaya lain seperti Rp650 ribu per tahun dengan istilah uang PM dan Rp250 ribu per tahun untuk kegiatan tahunan yang tidak jelas serta uang komputer, uang buku, uang AC dan lain-lain.

Bobi masih lebih beruntung. Temannya yang bersekolah di SMA Negeri favorit bahkan harus membayar IPDB Rp12,5 juta dan iuran bulanan Rp400 ribu, belum termasuk biaya lainnya yang mengharuskan orangtua bekerja ekstra keras atau berutang sana-sini agar anaknya bisa tetap bersekolah.

Sukresna yang seorang pegawai Perum biasa itu tentu saja mengeluh atas tingginya biaya pendidikan ini dan mempertanyakan apa gunanya alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan 20 persen dari APBD yang digencarkan pemerintah belakangan ini.

"Pendidikan kita sangat mahal sehingga tidak memungkinkan anak-anak dari masyarakat miskin untuk bersekolah," katanya sambil menambahkan bahwa anak miskin seharusnya bisa bersekolah di sekolah negeri, sekolah negara, tetapi kenyataan yang ada, sekolah negeri pun bukan untuk orang miskin.

Ia membayangkan bagaimana sulitnya ayah-ayah lain yang berprofesi sebagai tukang becak, buruh pabrik, petani gurem, pedagang kaki lima, atau petugas kebersihan bermimpi agar anaknya kelak lebih beruntung dari mereka, karena menyekolahkan anaknya ke SMA saja tidak mampu.

Bagaimana dengan pendidikan tinggi? Sama saja. Agung yang kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) dengan jalur Ujian Masuk sejak tiga tahun lalu mengaku telah membayar uang pangkal Rp10 juta meskipun diperkenankan memilih minimal Rp5 juta dan harus membayar SPP dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) hingga Rp2 juta per semester.

Memang Mahal

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto, mengatakan, biaya untuk memperoleh pendidikan memang mahal, apa lagi jika ingin kualitas pendidikan baik dan tidak sekedar berstandar lokal.

Namun ia membantah bahwa pendidikan tidak bisa dienyam oleh masyarakat miskin karena biaya pendidikan Wajib Belajar Sembilan Tahun, SD dan SMP Negeri digratiskan di mana orangtua murid dibebaskan dari uang pangkal dan SPP.

"Biaya pendidikan siswa SD dan SMP yang gratis bukan berarti biaya pendidikan berarti murah, tetapi sebagai gantinya APBN dan APBD-lah yang membayarkannya," katanya dan menambahkan alokasi anggaran pendidikan di DKI bahkan dialokasikan sampai 22 persen dari standar minimal UUD 1945 sebesar 20 persen.

Soal biaya pendidikan SMA Negeri yang mahal, ia menjelaskan, untuk saat ini siswa SMAN memang masih harus membayar, tetapi ke depan pendidikan SMAN di Jakarta rencananya juga akan digratiskan.

Namun ia membantah mahalnya biaya pendidikan SMAN di Jakarta sebagai kesalahan Pemprov DKI yang menyerahkan saja semua keputusan soal standar biaya pendidikan ke sekolah dan tidak tegas terhadap sekolah yang mengenakan biaya tinggi kepada siswanya.

"IPDB dan SPP SMA itu berdasarkan kesepakatan Komite Sekolah pada rencana anggaran belanja dan pendapatan sekolah, yakni antara pengelola sekolah dengan para wali murid sendiri. Kita sudah menerapkan manajemen pendidikan berbasis sekolah," katanya.

Bahkan siswa tidak mampu, lanjut dia, bisa mendapatkan keringanan dengan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan.

Alasan tersebut sangat disayangkan oleh Sukresna. Anggota Komite Sekolah, ungkapnya, seringkali dipilih dari wali-wali murid yang kaya, sehingga suara orang biasa menjadi suara yang kalah.

"Komite Sekolah terkesan mendapat pesanan dari sekolah. Bahkan pendidikan gratis pendidikan wajar ternyata sekedar slogan, karena wali murid harus tetap membayar dalam bentuk lain misalnya uang AC," katanya.

Beasiswa

Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Gumilar Somantri membantah jika pendidikan tinggi di universitas negeri semakin mahal, khususnya di UI, karena mahasiswa dimungkinkan membayar uang BOP sebesar Rp100 ribu per semester dan bebas uang pangkal.

"Sebanyak 56 orang menerimanya yakni 27 mahasiwa fakultas teknik, 14 mahasiswa FISIP, dan tiga dari Fakultas kedokteran," katanya.

Namun ia mengakui jika standar biaya kuliah di UI mencapai Rp5 juta untuk IPS dan Rp7,5 juta untuk IPA per semesternya dan uang pangkalnya Rp15 juta untuk IPS dan Rp28 juta untuk IPA. Angka yang cukup menyesakkan orang tak punya.

"Tapi mereka juga bisa gratis karena UI menerapkan program pemerataan kesempatan bagi seluruh anak negeri dengan program bernama Kerjasama Daerah dan Industri (KSDI), di mana mahasiswa dibebaskan dari biaya kuliah, karena pemda maupun industri yang akan menanggung biayanya," katanya menukas.

Kemampuan finansial tidak pernah menjadi prasyarat menempuh pendidikan di UI, ujarnya. Pada tahun 2008, mahasiswa sarjana regular yang diterima di UI berjumlah 4.567 mahasiswa, namun sebanyak 3.509 orang di antaranya mendapat beasiswa untuk pengurangan uang pangkal sebesar total Rp8,961 miliar.

Selain itu, UI juga memberikan dukungan beasiswa sebesar Rp14,13 miliar yang dikelola langsung oleh rektorat UI dan beasiswa sebesar Rp3,88 miliar dari Fakultas yang diperuntukkan bagi 1.088 mahasiwa sehingga total beasiswa pada tahun 2008 adalah Rp26,97 miliar.

Pihaknya, tegas Gumilar yang sosiolog itu, sudah menerapkan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) di mana biaya kuliah sepertiganya ditanggung negara, sepertiga lagi ditanggung universitas melalui kerjasama dan sepertiga sisanya dibayar oleh mahasiswa.

Sukresna kembali menambahkan, semua pihak sudah seharusnya memiliki empati pada pendidikan yang merata bagi semua rakyat dan karena itu harus murah dan dapat diakses orang miskin.

Semua pihak juga harus punya konsep pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan bangsa, sehingga menghindari komersialisasi pendidikan, tambahnya. (*)

Oleh oleh Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009