Jakarta (ANTARA News) - Jarak antara Stasiun Kereta Api Tanjung Priok dan Stasiun Senen ditempuh dalam waktu 20 menit. Bukan dengan kereta biasa, tapi dengan lima larik gerbong yang salah satunya membawa orang nomor satu di negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Perjalanan Selasa siang 28 April 2009 itu menandai penggunaan kembali Stasiun Tanjung Priok yang telantar sampai sembilan tahun.
Stasiun peninggalan masa kolonial Belanda yang dibangun pada 1914 itu kini difungsikan kembali untuk melayani tiga rute kereta api kelas ekonomi; jurusan Bekasi, Cikampek, dan Surabaya.
Perjalanan 20 menit Presiden Yudhoyono ke Stasiun Senen tentu tidak menggunakan kereta kelas ekonomi karena tiga gerbong di depan adalah rangkaian kelas eksekutif berpendingin udara dengan kursi yang bisa diatur untuk rebahan badan dan sandaran kaki. Ini termasuk keistimewaan fasilitas yang melekat dan senantiasa mengikuti Presiden ke mana pun ia pergi, mulai dari protokol, petugas keamanan, hingga media massa yang biasa meliput kegiatan Presiden.
Dua dua gerbong paling belakang dinamai Djoko Kendil, kereta penumpang yang dibuat pada 1938 dan telah direnovasi oleh para ahli PT Kereta Api Indonesia di Balai Yasa, Gubeng, Surabaya.
Presiden Yudhoyono berada di salah satu gerbong Djoko Kendil. Awalnya hanya duduk di kursi yang telah disiapkan untuknya dengan hanya melambaikan tangan dari balik jendela berkaca flim gelap kepada barisan warga di pinggir rel yang menjadi saksi perjalanan istimewa ini.
Kemudian, setelah lima menit kereta berjalan dengan kecepatan yang sengaja dijaga pelan, Presiden bangkit dari kursinya. Selama sisa perjalanan ia dan Ani Yudhoyono memilih berdiri di tepi pintu gerbong nan terbuka, menyaksikan pemandangan yang tak terhalang kaca jendela. Sesekali keduanya mencondongkan tubuh di depan pintu untuk menyapa warga dengan lambaian tangan mereka.
Sepanjang perjalanan, seorang anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) berdiri di bordes menjaga Presiden agar jangan sampai terjatuh.
Sungguh sebuah perjalanan yang tidak biasa, namun dengan pemandangan ibukota yang sangat biasa. Deru kereta api sepanjang rel seakan melewati untuk kemudian merekam suara nafas kembang kempis mereka yang tinggal bersesakkan di kiri-kanan lintasan kereta.
Rumah-rumah bedeng berdinding dan beratap lembaran seng berkarat yang ditambal sulam tersaji di kiri kanan rel kereta selama perjalanan tidak biasa itu berlangsung, bahkan mereka hanya berjarak kurang satu meter dari rel kereta.
Warga sudah terbiasa dengan lintasan kereta api di pekarangan rumahnya. Beberapa ibu berjongkok mencuci piring membelakangi kereta api yang melintas dalam jarak hanya sekitar 50 sentimeter. Ada yang tertidur di kursi depan rumah tanpa terusik suara bising kereta berjalan, sementara anak-anak asyik berlarian di sepanjang rel tanpa takut terlindas atau tertabrak kereta.
Pemukiman padat itu sesekali terganti oleh pemandangan sama kumuhnya dari tumpukan sampah yang pasti mengedarkan bau tidak sedap, selain mengundang ribuan, bahkan jutaan lalat.
Wajah cerah Presiden Yudhoyono yang selalu terlihat apabila berada di tengah kerumunan massa tampak mengeruh. Rupanya perjalanan 20 menit itu telah mengusik emosinya.
Setiba di Stasiun Senen, Presiden segera menggelar konferensi pers menuturkan hasil pencerapannya selama perjalanan singkat tersebut.
"Ketika tadi mengikuti perjalanan dari Stasiun Tanjung Priok ke Stasiun Senen ini saya melihat utuh perjalanan kita, kiri kanan rel perumahan penduduk di sepanjang jalur itu menurut saya perlu ditata kembali," ujarnya.
Namun, ia menyadari betapa sulit memindahkan warga pemukiman padat sepanjang rel kereta api karena menghadapi dilema sosial dan psikologis.
Makna penataan ulang itu, bagi Presiden, adalah membuat lingkungan pemukiman padat tersebut lebih bersih, rapi, dan layak dihuni tanpa menganggu jalan kereta api.
Menyadari warga pinggir jalur kereta api merupakan kalangan berpenghasilan rendah, Presiden menegaskan penataan ulang lingkungan mereka menjadi tanggungan pemerintah yang akan dicarikan sumber pendanaannya.
Presiden tidak menyebut detil dengan cara apa penataan ulang itu ditempuh tanpa memindah paksa pemukim di sepanjang lintasan rel, satu cara yang selama ini lazim dilakukan pemerintah kota maupun provinsi.
Yudhoyono hanya memerintahkan pihak-pihak terkait dengan masalah ini, mulai dari jajaran Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, PT KAI, sampai Pemerintah Provinsi DKI Jaya, untuk merumuskan penataan ulang tersebut dan melaporkan hasilnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Ia ingin kereta api dapat berjalan mulus di tengah lingkungan yang nantinya harus bersih, hijau, dan layak huni.
"Yang penting bagi saya, (adalah) yang sudah ada di situ tadi, toh kereta api juga bisa berjalan dengan baik, ditata kembali. Dengan demikian mereka juga senang, mereka mendapatkan lingkungan yang baik, kemudian kota Jakarta yang kita cintai ini lebih tertib dan lebih sehat," tuturnya.
Presiden yang selalu mengklaim pemerintahannya menyediakan program-program prokesejahteraan rakyat itu tentu tidak ingin perjalanan 20 menitnya sia-sia, apalagi klaim itu kerap ia dengungkan selama kampanye Pemilu Legislatif 2009 hingga Partai Demokrat meraup suara tertinggi dan memuluskan jalannya menuju pencalonannya kembali sebagai Presiden RI pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Juli 2009.
Ibarat panggung yang selalu memisahkan jarak dengan khalayak, Presiden Yudhoyono kali ini berada atas panggung Djoko Kendil untuk menyaksikan dan menyelamai mereka yang memang harus disejahterakannya.
Nama Djoko Kendil diambil dari hikayat seorang putri Kerajaan Brawijaya yang jatuh cinta pada Djoko Kendil, pemuda biasa dari kalangan kawula (pelayan).
Dalam kisah-kisah kuna, Djoko Kendil hidup terperangkap dalam sebuah kendil atau periuk. Namun, kekuatan cinta dan kasih sayang kedua sejoli itu akhirnya memupuskan kutukan sampai periuk itu pun pecah. Djoko Kendil menjelma menjadi pemuda tampan nan gagah, hidup bahagia berdampingan dengan Sang Putri.
Kini, "Djoko Kendil" yang kini melintas depan pelupuk mata rakyat tentu bukan hanya satu lakon di atas pentas, yang menyeruak ke atas panggung-panggung yang seketika sibur di tahun politik ini.
Semoga Presiden Yudhoyono yang meraih kekuasaan pada 2004 dengan slogan "Bersama Kita Bisa" itu mengerti, kebersamaan adalah saat kendil itu pecah dan segera memupus jarak antara Sang Putri dan si Kawula, untuk hidup bahagia. (*)
Oleh Oleh Diah Novianti
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009