Jakarta (ANTARA News) - Koalisi sejumlah partai politik (parpol) yang disebut-sebut di media sebagai koalisi besar (jumbo) belum tentu solid.

Demikian pendapat pengamat sosial politik Widhya Bagja, MSc kepada pers di Jakarta, Jumat menanggapi terbentuknya koalisi jumbo.

Partai yang sudah bergabung dalam koalisi besar ini adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Gerindra, Hanura, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) dan Partai Bintang Reformasi (PBR).

Koalisi jumbo diresmikan di Kantor DPP Hanura di Jakarta, Jumat. Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto membacakan pernyataan sikap koalisi tersebut.

Berdasarkan kamus wikipedia, jumbo merupakan konotasi untuk melukiskan "sesuatu yang besar". Kata "jumbo" lazim untuk menggambarkan sesuai, seperti seekor gajah.

Widya Bagja berpendapat bentuk kerjasama politik dalam koalisi jumbo rentan kepentingan pribadi elite. Bahkan terbentuknya koalisi jumbo ini lebih mencerminkan ambisi elite partai yang bergabung, ketimbang kepentingan rakyat.

"Saya tidak yakin koalisi jumbo ini akan memiliki visi-misi dan platform yang sama," katanya yang menambahkan pola koalisi jumbo pernah diterapkan dalam Pilpres 2004 dan ternyata gagal.

Koalisi ini akan melemah seiring perebutan kepentingan diantara elite partai yang merasa dirinya paling pantas dan paling layak menjadi orang nomor satu atau nomor dua.

Menurut Widhya, masih cukup waktu bagi partai-partai untuk mengkaji ulang pola koalisi yang sedang dibangun. Jika hanya mengandalkan hitungan angka di atas kertas berdasarkan perolehan suara, hal itu tidak akan efektif.

Apalagi, kata Widhya, figur kandidat Yudhoyono yang sangat populer dan hampir semua lembaga survei menyimpulkan bahwa capres Partai Demokrat ini tidak akan tertandingi oleh figur lain.

"Apalagi dari koalisi jumbo ini tidak ada figur baru yang "segar". Faktor ini mesti diperhatikan elite parpol," katanya.

Di sisi lain, kata dia, dibutuhkan suatu dukungan dari parlemen yang kuat siapa pun pasangan capres yang berhasil menang.

Dia mengatakan, dalam sistem presidensial dengan multipartai seperti di Indonesia, maka harus ada kerjasama yang erat atau dukungan sinergis dari parlemen. Di sinilah sebenarnya pentingnya membahas koalisi bukan hanya untuk Pilpres tapi juga kerjasama di parlemen.

Terkait posisi partai Golkar, Widhya mengatakan, idealnya Golkar berkoalisi dengan Partai Demokrat guna membangun pemerintahan yang kuat. Namun karena persoalan kepentingan elite di internal Golkar, berkembang koalisi menjadi seperti saat ini.

Sebenarnya, kata Widhya, dua tokoh besar di Golkar, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, patut diperhitungkan untuk mendampingi Yudhoyono dalam Pilpres 2009, yaitu Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung.

"Akbar dikenal sangat jago lobi dan diperkirakan mampu mendongkrak perolehan suara. Sebaliknya, Kalla juga telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang mampu menggerakkan roda perekonomian negeri ini," katanya.

Dia menyatakan, dibutuhkan sikap kenegarawanan kedua tokoh ini. "Kita tunggu saja," kata Widhya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009