Riyadh (ANTARA News) - Abdulaziz al-Baddah tidak tahu apa yang akan dikerjakannya nanti setelah pembebasannya dari penjara "perang melawan teror" milik AS di Guantanamo.

Dia diciduk di Pakistan pada Desember 2001 gara-gara bekerja untuk yayasan amal Al Wafa yang dituduh AS membantu keuangan Alqaeda. Lalu, dia mesti menghabiskan waktu lima tahun di Guantanamo sebelum kemudian dibebaskan.

"Aku ingin pulang ke Saudi Arabia sekalipun nanti aku mesti dihukum mati. Itu tak lebih buruk ketimbang apa yang terjadi di Guantanamo," katanya dalam wawancara yang diadakan oleh kementerian dalam negeri pemerintahan Saudi, seperti dikutip oleh AFP.

Tetap saja, salah satu dari hal pertama yang diangankannya adalah kembali bersama keluarganya di Mekah. Dia telah diwawancarai, disidik dan menjalani pemeriksaan psikologi di Saudi, tapi semua itu berbeda dari yang diterapkan penjara AS.

"Perlakuan di Saudi lebih manusiawi," kenang Baddah.

Setelah itu ia dikirim ke fasilitas rehabilitasi kaum militan yang baru dibangun Saudi, bernama Pusat Perawatan dan Bimbingan Pangeran Mohammed bin Nayef. Di sini, akunya, kebenciannya pada Amerika memudar, begitu pula hasratnya untuk aktif dalam gerakan militan.

"Bagaimana aku bisa mendapat pahala jika aku membunuh orang tak berdosa," katanya mengulang ajaran di pusat rehabilitasi itu.

Salah seorang "lulusan" pertama pusat rehabilitasi inovatif di Riyadh ini mendapatkan pelajaran kunci bahwa keluarga dan negaranya adalah lebih dari segalanya dan merekalah yang menentukan keputusan jihad atau perang suci.

"Sebelum itu, aku percaya bahwa pekerjaanku di Al Wafa di Afghanistan bisa membuatku syuhada jika aku mati, bahkan bila aku tak berperang. Tapi kini aku akan berpikir ulang untuk apa yang mesti kulakukan. Kemanusiaan juga melandasi konsep jihad," katanya.

Dengan merekrut sekelompok ulama terpilih yang menguasai ajaran Islam, pusat rehabilitasi militan Riyadh ini membimbing kembali para militan, baik yang dari Guantanamo maupun yang ditangkap di dalam negeri Saudi Arabia, melalui dialog dan diskusi kelas untuk membahas apa itu jihad dan siapa yang berwenang menyerukannya.

Jawabnya, kata Sheikh Ahmed Hamid Jelani dari pusat rehabilitasi, adalah bahwa jihad mesti diputuskan oleh para ulama sepuh Saudi, disetujui raja dan kemudian mendapat izin orangtua pelaku jihad.

Terlahir Kembali

Ajaran yang diperkenalkan pusat rehabilitasi dan kehidupan yang murah hati di dalamnya, telah membuat Baddah (29) kehilangan minatnya berpolitik. Kini ia bekerja pada usaha real estate milik keluarganya dan menikah untuk kemudian dianugerahi dua anak perempuan.

"Pusat rehabilitasi itu mengubah cara pandang hidupku. Aku bisa menyebut diriku telah terlahir kembali," kata Baddah.

Meskipun tidak ada data riil berapa sebenarnya investasi untuk pusat rehabilitasi ini, adalah jelas pemerintah Saudi telah membenamkan banyak sekali uang untuk mengembalikan para "lulusan" panti rehabilitasi ini ke masyarakat.

Mereka memperoleh mobil, biaya kuliah, pekerjaan, perawatan kesehatan dan terpenting adalah mas kawin untuk menikah yang kesemuanya menarik perhatian para mantan militan ini. Balasannya, mereka menjadi amat terawasi karena setiap saat wajib lapor dan tidak boleh bepergian ke luar negeri.

Tapi ide dasarnya adalah mengembalikan mereka ke kehidupan biasa seorang Saudi dimana politik itu domain pemerintah, dan menjaga mereka untuk tetap hidup dengan gaya hidup masyarakat kelas menengah.

Pendekatan ini memang efektif di banyak hal, terutama pada mereka yang bergabung dalam operasi jihad selagi muda dan kini berkembang dewasa dengan hanya ingin kehidupannya mantap. Namun, ini tidak selalu mudah.

Juma al-Dossari (34) yang belajar di negara bagian AS, Indiana, dan menghidupi diri dengan menjadi imam di AS, justru dipenjarakan pasukan AS di Afghanistan pada 2001.

Pengalamannya di Guantanamo, termasuk menjadi obyek penyiksaan dan beberapa kali mencoba bunuh diri, terdokumentasi sangat baik. Dia mendapat program perawatan untuk mengembalikan keadaan dirinya sejak pulang ke Saudi pada 2007.

Setelah beberapa bulan berada di pusat rehabilitasi, dia pindah ke Dammam di bagian timur Saudi Arabia, dan kini kuliah ilmu komputer dan Bahasa Inggris. Katanya, dia kini telah berkeluarga dan kehidupan yang terbentang di depannya.

Namun untuk kembali ke masyarakat bukan persoalan mudah karena sebenarnya sulit melupakan masa silam. "Beberapa orang menganggapku pahlawan, tapi yang lain menyebutku pengkhianat dan teroris."

Suatu hari ia dikagetkan seorang pemilik toko yang bertanya, "Hey, aku pernah melihat fotomu. Kamu siapa ya?" Tetapi si pemilik toko menjawab sendiri pertanyaan itu, "Ah, aku tahu, kamu pemain sepakbola kan?" Dossari menjawab, "Iya kali." (*)

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009