Kita tidak bisa menang hanya dengan bertahan, kita harus menyerang
Jakarta (ANTARA) - "Herd immunity" atau kekebalan kelompok adalah salah satu cara untuk menghentikan suatu penyakit infeksi menyerang manusia dengan cara membuatnya tidak bisa menginfeksi seseorang pun, sehingga akhirnya bakteri atau virus penyebabnya hilang dari muka bumi.
Syarat untuk mencapai herd immunity adalah 85 persen dari populasi telah memiliki kekebalan dari virus atau bakteri tersebut. Cara mendapatkan kekebalan tubuh terhadap virus atau bakteri yaitu dengan vaksinasi, atau pun dengan antibodi tubuh yang terbentuk dengan sendirinya ketika virus atau bakteri tersebut menginfeksi seseorang dan orang itu bertahan hidup.
Organisasi Kesehatan Dunia menyebut vaksin untuk mencegah virus corona penyebab penyakit COVID-19 baru akan tersedia sekitar 12 hingga 18 bulan ke depan. Artinya jika ingin mencapai herd immunity atas virus COVID-19 adalah dengan membiarkan sedikitnya 85 persen populasi manusia terinfeksi virus ini.
Tentu saja jika virus COVID-19 menginfeksi 85 persen suatu populasi manusia di suatu tempat, tidak seluruhnya populasi tersebut dapat bertahan hidup. Jika merujuk data di seluruh dunia, tingkat kematian pada seluruh kasus (CFR) COVID-19 sekitar 4 persen. Angka itu juga berbeda-beda setiap negara tergantung kondisi kesehatan masyarakat dan kemampuan sistem kesehatan suatu negara.
Teori herd immunity ini muncul di tengah-tengah penularan virus corona tipe baru sebagai salah satu opsi menghentikan pandemi ini. Yang tentu saja, teori ini banyak ditentang oleh berbagai pihak karena mengorbankan banyak orang.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menyebut apabila teori herd immunity diterapkan di Indonesia, maka akan menghapus satu generasi penduduk Indonesia.
Hal itu dikarenakan tingginya risiko penduduk Indonesia untuk mengalami sakit parah apabila terinfeksi COVID-19. Ketua Umum PAPDI Dr dr Sally A Naustion Sp.PD, K-KV, FINASIM, FACP menjabarkan data betapa rentannya penduduk Indonesia bila terinfeksi virus corona jenis baru ini karena penyakit ini sangat berbahaya bila menyerang lansia dan penderita penyakit kronis.
Indonesia memiliki penduduk lansia 9,6 persen, prevalensi penyakit kardiovaskular 1,5 persen, diabetes 10,9 persen, penyakit paru kronis 3,7 persen, hipertensi 34 persen dari seluruh penduduk Indonesia, penderita kanker 1,8 orang per satu juta penduduk, dan penyakit autoimun yang berkaitan dengan kekebalan tubuh sebesar 3 persen.
PAPDI menyebut jumlah populasi yang berisiko mengalami sakit parah apabila terkena infeksi COVID-19 akan berjumlah fantastis. "Ini bisa terjadi di kelompok usia produktif sehingga mengakibatkan hilangnya sebuah generasi," kata Sally.
Lagi pula, China sebagai episentrum awal virus COVID-19 telah membuktikan bahwa negaranya bisa menekan laju penambahan kasus baru dari puncaknya yang lebih dari 3 ribu kasus per hari dan turun drastis hingga terendahnya hanya puluhan kasus per hari.
Baca juga: Anggota DPR: Keppres karantina terbit, tak perlu debat soal lockdown
Baca juga: Pemprov pastikan tidak akan berlakukan "lockdown" di Sulsel
Lockdown dan upaya sejenis
Lockdown atau pembatasan akses keluar masuk suatu wilayah, atau karantina wilayah, juga menjadi salah satu opsi untuk menekan laju penularan virus seperti yang terjadi di China. Negeri Tirai Bambu tersebut berhasil menekan penyebaran virus dengan menerapkan pembatasan akses keluar masuk beberapa wilayahnya dengan sangat ketat, utamanya di Kota Wuhan sebagai sumber penularan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB menyatakan prinsip utama dari lockdown atau karantina wilayah adalah membatasi mobilitas penduduk dari suatu wilayah yang menjadi sumber penularan virus atau episentrum.
Keutamaan dari karantina wilayah adalah agar penduduk yang sudah berada di episentrum tidak keluar dari wilayah dan menularkan kepada daerah lain, dan orang yang di luar episentrum tidak tertular dengan mendatangi kota tersebut.
Kebijakan karantina wilayah di saat wabah corona ini pertama kali dilakukan di Kota Wuhan, yang kemudian diikuti oleh beberapa negara seperti Italia, Spanyol, Denmark, Prancis dan beberapa negara di Eropa. Selain itu di wilayah Asia seperti India dan Malaysia menerapkan kebijakan lockdown atau membatasi akses keluar masuk negaranya, dan di AS dilakukan pembatasan akses untuk beberapa wilayah.
Beberapa kota di Indonesia seperti Tegal dan Tasikmalaya sudah mengumumkan karantina wilayah, begitu mengetahui ada kasus positif COVID-19 di daerahnya. Sementara Presiden Joko Widodo sejak beberapa waktu lalu telah mengimbau kepada masyarakat untuk bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah sebagai langkah pembatasan jarak fisik untuk menekan penyebaran penularan COVID-19.
Terbaru, Presiden Joko Widodo mengumumkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akan diterapkan oleh pemerintah dengan pemberlakuan yang lebih tegas dan disiplin. Dalam hal ini anggota Polri ditugaskan untuk menjaga keamanan dan mengawal penerapan PSBB dengan berpatroli di tengah masyarakat.
Benar adanya bahwa membatasi pergerakan masyarakat dan meminta masyarakat di rumah saja, dapat mencegah penularan virus dan memperlambat laju penyebaran virus. Dengan begitu orang tidak banyak yang terinfeksi, rumah sakit beserta para tenaga medis memiliki waktu lebih banyak dengan berkurangnya beban tersebut.
Namun tindakan tersebut tidak akan bisa membasmi virus corona, melainkan hanya memperlambat laju penyebarannya. Cara membasmi virus corona adalah menyerangnya dengan memutus rantai penularan.
Cara memutus rantai penularan adalah dengan mengkarantina setiap setiap virus COVID-19 yang ada di tubuh manusia agar tidak bisa menular ke manusia lain. Dan cara untuk mengetahui ada atau tidaknya virus di tubuh manusia adalah dengan melakukan deteksi atau pemeriksaan COVID-19 secara akurat. Sementara untuk menekan angka kematian akibat COVID-19, setiap orang yang sakit harus mendapatkan perawatan.
Mengambil perumpamaan Dirjen WHO Tedros Adhanom Gebreyesus bahwa lockdown atau pembatasan sosial dan semacamnya adalah cara untuk bertahan dari gempuran virus, sedangkan cara untuk menyerang adalah dengan melakukan deteksi untuk mengetahui keberadaan virus dan mengkarantina virus tersebut agar tidak bisa menulari siapapun.
"Kita tidak bisa menang hanya dengan bertahan, kita harus menyerang," kata Tedros.
Oleh karena itu selain kampanye besar-besaran tentang pembatasan sosial, di rumah saja, bekerja belajar dan beribadah di rumah dan semacamnya akan percuma jika tidak ada tindakan untuk deteksi dan karantina virus secara masif.
Dirjen WHO Tedros menilai langkah yang diambil oleh negara China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura adalah yang paling sukses menekan laju penyebaran virus. Negara-negara tersebut menjadi bukti bahwa virus corona penyebab COVID-19 dapat dikendalikan.
Dalam pertemuan para menteri kesehatan 50 negara di seluruh dunia secara virtual beberapa waktu lalu, negara China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura memberikan langkah-langkah yang dilakukan dalam pengendalian virus.
Langkah-langkah penting yang telah terbukti berhasil dilakukan untuk mengendalikan virus adalah kebutuhan untuk deteksi kasus secara dini bahkan sebelum menimbulkan gejala, dan langsung mengisolasi tiap kasus terkonfirmasi positif.
Selain itu mengidentifikasi riwayat kontak pasien positif COVID-19, menindaklanjutinya dan mengkarantina tiap riwayat kontak, dan juga meningkatkan serta mengoptimalkan sumber daya pelayanan kesehatan yang dimiliki tiap negara.
Pakar dan klinisi kesehatan di Indonesia yang juga Dekan FKUI Prof Dr dr Ari Fahrial Syam mengatakan cara untuk menekan angka kematian serta laju penyebaran kasus adalah dengan mengurangi pergerakan masyarakat di tempat umum, dan juga meningkatkan kapasitas deteksi serta mengisolasi setiap kasus.
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr Pandu Riono, MPH, PhD mengatakan tingginya angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia saat ini tidak menggambarkan angka kejadian yang sebenarnya.
Berdasarkan data COVID-19 di Indonesia per 31 Maret 2020 sebanyak 1.528 orang positif dan 136 jiwa meninggal dunia atau persentase kematian dari seluruh kasus 8,9 persen. Meskipun angka case fatality rate (CFR) tersebut dua kali lipat angka CFR global, Pandu menilai angka tersebut tidak mencerminkan kejadian sebenarnya yang tidak tercatat secara resmi.
Menurut Pandu, CFR di Indonesia tinggi dikarenakan deteksi atau pengujian kasus yang tidak dilakukan lebih luas. Oleh karena itu Pandu mendorong agar deteksi COVID-19 bisa dilakukan secara masif yang diikuti pula dengan isolasi dan karantina yang secara masif pula untuk memutus rantai penularan virus.
Jika tidak melakukan deteksi kasus secara masif, maka hanya virus dengan jumlah kecil yang terlihat sementara sebagian besar lainnya tidak tampak dan secara bebas menyebar. Ibaratnya seorang tentara sedang berperang melawan virus dengan kondisi mata yang rabun.
Baca juga: Sosiolog: Pembatasan sosial skala besar lebih longgar dari "lockdown"
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020