Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta mengkaji jumlah operator telekomunikasi di tanah air agar jumlah sumber daya frekuensi dan penomoran yang terbatas dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Demikian salah satu benang merah seminar "Satu Tahun Penurunan Tarif Telekomunikasi" yang diselenggarakan Kadin Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Masyarakat Informasi (LPPMI), di Jakarta, Rabu.
Hadir sebagai pembicara pada seminar itu Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar, Direktur Utama PT Bakrie Telecom Anindya Bakrie, Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah, Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Indonesia, Johnny Swandi Sjam, Sekjen Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini, dan pengamat telematika dari STT Telkom Miftadi Sudjai.
Menurut Johnny Swandi Sjam, setelah satu tahun penurunan interkoneksi sejak 1 April 2008 telah mengakibatkan tarif ritel telekomunikasi menurun.
Dampak dari kebijakan tersebut, dari sisi positif terjadi peningkatan trafik percakapan, namun tidak semua operator mampu meningkatkan pendapatan.
"Akan tetapi peningkatan percakapan tersebut tidak diimbangi dengan tersedianya penambahan kapasitas frekuensi yang dimiliki masing-masing operator," kata Johnny yang juga Dirut PT Indosat.
Mewakili operator ia menjelaskan, operator telekomunikasi saat ini dihadapkan pada perang tarif yang justru menekan pendapatan masing-masing penyelenggara telekomunikasi.
"Setelah pemberlakuan kebijakan terjadi perubahan drastis pada industri. Kompetisi semakin ketat tercermin dari layanan seluler dan telepon tetap nirkabel (FWA) yang tidak berbeda," katanya.
Pada akhirnya, kemampuan meningkatkan kapasitas dan luas jangkauan operator berkurang sehingga kualitas layanan menurun.
Sementara itu Direktur LPPMI Mazwita Idrus mengungkapkan, berdasarkan survei yang dilakukan pada 200 responden konsumen telekomunikasi sebanyak 59 persen mengaku kualitas layanan operator menurun dibanding penurunan tarif.
"Jika tadinya responden merasa layanan cukup berkualitas sebanyak 89 persen sebelum kebijakan tersebut, angka itu melorot menjadi 59 persen," katanya.
Penurunan kualitas layanan paling tinggi dirasakan pada gangguan komunikasi saat melakukan panggilan sebanyak 45 persen, panggilan terputus (27 persen), dan layanan pesan singkat (SMS) tidak terkirim 15 persen.
Sementara itu Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini menjelaskan, menurunnya kualitas layanan yang diberikan oleh operator karena terjadi anomali di lapangan.
"Laju penurunan tarif mengukuti deret hitung, tetapi laju kenaikan trafik mengikuti deret ukur. Apalagi ada faktor-faktor pembatas dalam penambahan kapasitas seperti akses untuk menempatkan antena dan lebar pita frekuensi yang dimiliki," katanya.
Jika operator menggunakan kapasitas layanan suara hingga utilisasi maksimum, maka trafik layanan data dan internet akan terganggu atau tidak dapat terlayani.
Melihat fenomena itu, Kadin Indonesia dan ATSI seakan satu suara agar penambahan frekuensi bagi operator cepat direalisasikan dengan catatan harga frekuensi yang ditawarkan pemerintah dapat terjangkau oleh operator pada umumnya.
Selain itu perlu juga dipertimbangkan mengurangi jumlah operator telekomunikasi di tanah air sehinga frekuensi dan penomoran layanan telekomunikasi dapat dimanfaatkan maksimal dan efisien
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009