Disebut semedot karena Yudhoyono dan Kalla telah menjalin kerjasama selama lima tahun menjalankan roda pemerintahan, melewati onak berduri seraya merajut suka duka.
Semedot dapat dirangkum dan diibaratkan dalam ungkapan "Kau yang tertusuk, Aku yang terluka". Mengapa?
Ini karena Partai Demokrat dan Partai Golkar tidak mencapai kata mufakat dalam membangun koalisi. Kedua partai itu siap bertarung di jagat Pemilihan Presiden 2009. Kedua tokoh di republik ini menggenapi pernyataan, "ada pertemuan, ada pula perpisahan".
Implikasinya, sejarah perpolitikan Indonesia mencatat bahwa semedot sebagai ungkapan sarat keharuan telah mendekonstruksi makna politik. Lantas, apakah gelanggang politik yang secara mendasar mengarah kepada segala apa yang diperbuat bagi orang lain memuat keharuan yang coba menyita hati publik?
Bukankah semedot sekedar tindakan bernuansa monolog, padahal politik - meminjam istilah filsuf Hannah Arendt - merupakan aktivitas dialog, artinya mengajak peran serta semua warga dalam hidup bernegara dan berbangsa.
Politik tampil sebagai wicara di ruang publik mengenai kepentingan bersama, sementara semedot tampil sebagai rasa di ranah pribadi dalam aura politik Indonesia.
Adalah staf khusus presiden bidang hukum, Denny Indrayana, yang mengatakan dalam pertemuan Yudhoyono dengan Kalla, Presiden memiliki banyak kenangan bahagia dengan Kalla. Menurut Denny, Wapres mengatakan laporan tersebut adalah yang paling sulit ia sampaikan selama hampir lima tahun bekerjasama dalam pemerintahan.
Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, usai rapat terbatas dengan para gubernur dan menteri Kabinet Indonesia Bersatu di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, mengaku terharu dengan pernyataan Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
"Tadi sampai ada gubernur yang menitikkan air mata. Tapi tidak etis kalau saya menyebut namanya," kata Nuh. Ia sendiri mengaku terenyuh pada komitmen Yudhoyono dan Kalla yang berjanji tetap bekerjasama dalam pemerintahan sampai 20 Oktober 2009, sambil berkompetisi selama Pilpres Juni-Juli 2009.
Dia memaknai sikap kedua kepala pemerintahan RI ini sebagai wujud sikap kenegarawanan yang patut diteladani semua orang. Tambahan, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf mengaku terharu setelah mendengar pernyataan resmi perpisahan Yudhoyono dan Kalla yang diucapkan di hadapan para gubernur itu. Ini semedot di kancah politik.
Di arena "politik kantor", ada sejumlah tips menawan agar seseorang mampu menyita perasaan bos atau mencuatkan belas kasih pimpinan perusahaan. Disarankan agar datang lebih awal atau paling pagi, mengatur hari lembur, mengesankan sibuk meski terdengar klise dan muluk, serta memperluas kemampuan diri, demikian dikutip dari laman Kompas.Com. Kalau saja tips ini dapat berbunyi maka terdengar suara, "Abrakadabra".
Bagi mereka yang suka menjalin jejaring di era krisis global, ada trik yang perlu dicoba antara lain jadilah pribadi yang terbuka dan menyenangkan, berjabat tangan secara hangat, coba mengingat nama rekan dan mitra bisnis, menjadi pendengar yang baik, mengoleksi daftar koneksi, bersikap positif dan jaga bicara. Kalau saja trik ini dapat dirangkum maka ujaran singkatnya, jadilah "good boy, nice girl".
Kedua anjuran di gelanggang politik kantor itu merujuk kepada orientasi dalam keselarasan hubungan antar pribadi. Mengacu kepada tahap perkembangan kesadaran moral, menurut Lawrence Kohlberg, dalam tahapan ini, tingkah laku yang dianggap baik adalah tingkah laku yang dapat memuaskan dan membantu orang lain dan yang disetujui orang lain.
Dengan kata lain, orang bertingkah laku seperti kebanyakan orang, "tingkah laku sebagaimana orang biasanya". Kerapkali tingkah laku juga dinilai menurut "maksudnya". Orang bermaksud baik, bertingkah laku secara manis, sehingga memperoleh restu.
Demikian dalamkah makna semedot sehingga menyedot perhatian manusia kontemporer Indonesia? Jawabnya, ya kalau semedot sebagai ungkapan kebijakan Jawa dapat sungguh dipahami dan dimengerti.
Bukankah tokoh pemikir Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer menyatakan pemahaman (verstehen) dan penafsiran (erklaren) merupakan cara bereksistensi paling hakiki dari manusia.
Jawabannya tidak, bila istilah semedot lantas dikaitkan dengan samudera politik-monolog, anti-dialog yang bernuansa politik masa lalu.
Kalau politik merupakan teks, maka cara memahaminya bukan semata-mata kembali ke kejadian masa lampau, tetapi berpartisipasi dalam "kini dan di sini" (hic et nunc) pada apa yang sedang diwacanakan publik sebagai keprihatinan bersama.
Politik lantas tampil sebagai rintisan menuju kebenaran publik yang dicapai secara dialektis. Dengan kata lain, semedot bukan sebatas peristiwa bahasa (linguistic happening), melainkan politik dialektika.
Politik dialektika mengajak publik untuk mengasah dan menghujamkan sikap kritis dengan mencerna aneka informasi bagi kemanusiaan. Kesadaran orang baru kritis jika ia tidak semata mengiyakan atau mencatat informasi demi kekuasaan, agar mempunyai predikat "good boy, nice girl".
Ketika memaknai semedot yang menyedot aura politik Indonesia, ada pelajaran logika tradisional, yakni penalaran "argumentum ad misericordiam", penalaran yang ditujukan untuk menimbulkan belas kasihan. Sebagai sebuah kesesatan berpikir, argumen itu berhubungan dengan usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan.
Dalam sebuah pengadilan, seorang terdakwa mengajukan argumen ini untuk menimbulkan belas kasihan kepada hakim, misalnya dengan mengingatkan kepada hakim bahwa ia mempunyai isteri dan anak-anak yang hidupnya tergantung kepadanya.
Keterharuan atau "kesemedotan" mencapai kesejatian jika semua aktor politik mengunggulkan kesadaran rasional, bukan mengandalkan sisi emosional.
Politik lantas mewakili ziarah dari "homo actor mundi", artinya politik dialog dari selaksa gagasan. Intinya, politik pluralitas, bukan politik keseragaman, melainkan kesetaraan.(*)
Oleh Oleh A.A.Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009