Keputusan Presiden Joko Widodo yang akhirnya mengedepankan penggunaan kedaruratan kesehatan masyarakat daripada darurat sipil adalah langkah yang tepat dan cermat
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono menilai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) terkait status kedaruratan kesehatan masyarakat lebih tepat daripada rencana darurat sipil dalam menangani pandemik Coronavirus disease (COVID-19).
"Keputusan Presiden Joko Widodo yang akhirnya mengedepankan penggunaan kedaruratan kesehatan masyarakat daripada darurat sipil adalah langkah yang tepat dan cermat," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa malam.
Menurutnya penanggulangan wabah penyakit menular seperti COVID-19 tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan keamanan sebagaimana konstruksi darurat sipil, melainkan harus dengan pendekatan pelindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat dengan tetap menyeimbangkan penghormatan martabat, hak asasi manusia, dan dasar-dasar kebebasan seseorang.
Baca juga: Presiden Jokowi: Status darurat sipil belum diperlukan saat ini
"Tindakan Presiden menetapkan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah bukti Presiden beserta jajaran, serta pemerintah daerah masih memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan menangani penyebaran pandemik COVID-19," tuturnya.
Hal itu berbeda jika Presiden menetapkan Darurat Sipil yang dalam Pasal 1 angka 1 Perppu 23/1959 adalah bentuk pengakuan bahwa alat-alat perlengkapan negara yang ada dianggap sudah tidak efektif dalam mengatasi permasalahan tersebut.
"Padahal nyatanya sampai saat ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih dapat menangani permasalahan wabah COVID-19 dan terus mendapat dukungan masyarakat," ucapnya.
Ia menilai kebijakan Presiden Jokowi untuk membentuk PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sedikit terlambat karena UU 6/2018 sudah ada sejak 2018, namun kehadiran PP itu dapat segera berguna untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan PSBB.
Baca juga: Presiden Jokowi tetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar
"Sebelum ada PP itu, masih berupa imbauan sehingga belum bisa dilakukan penegakan hukum jika ada pelanggaran dalam pelaksanaannya," ujar Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Unej itu
Menurutnya hadirnya PP itu juga bisa segera mengakhiri beberapa kejadian tidak seragamnya kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dan dengan adanya PP itu, maka inisiatif pemda dalam melindungi warganya tetap dijamin.
"Kendati demikian, pemda harus selalu koordinasi dengan pemerintah pusat, serta harus menghindari kebijakan yang terkesan tidak sejalan dengan pemerintah pusat," ujarnya.
Ia berharap lengkapnya regulasi yang mengatur mengenai penanggulangan wabah COVID-19 yakni UU Kekarantinaan Kesehatan, PP tentang PSBB sebagai pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan dan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyakarat dapat menyelaraskan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
"Dengan adanya regulasi itu, antar-tingkatan pemerintahan maupun antara kepala daerah tidak perlu lagi berdebat mengenai strategi yang diambil dalam penanganan COVID-19 yaitu apakah dengan PSBB atau karantina wilayah," katanya.
Ia menjelaskan seluruh kepala daerah wajib untuk mengikuti dan melaksanakan strategi yang telah ditetapkan Presiden yaitu dengan PSBB sambil nantinya setelah diterapkan dalam waktu tertentu akan dilakukan evaluasi atas efektifitas strategi tersebut.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP dan Kepres terkait status kedaruratan kesehatan di Indonesia karena pandemik COVID-19 yang disampaikan di Istana Kepresidenan Bogor.
Baca juga: MPR dukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Baca juga: Kapolri siap laksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020