"Selama ini ada kesan KPU sangat membatasi akses informasi, bukan hanya pada masyarakat umum, bahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta lembaga pemantau merasa sulit mengakses informasi terkait seluruh tahapan proses pemilu," kata Anggota Bawaslu Wirdyaningsih dalam diskusi tentang Keterbukaan Informasi Publik di Hotel Nikko, Jakarta, Selasa.
Wirdyaningsih mengatakan, proses perhitungan rekapitulasi suara manual yang saat ini sedang berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta, terkesan tertutup dengan alasan keamanan.
"Pertimbangan KPU mengenai masalah keamanan tidak diimbangi dengan akses kebebasan informasi bagi masyarakat, termasuk bagi lembaga pemantau yang sudah terakreditasi dan rekan media. Padahal tahun 2004 proses tersebut bisa dilakukan secara terbuka," katanya.
Menurut dia, alur informasi di internal KPU sendiri tidak berjalan dengan baik. Contohnya, sosialisasi tata cara pemberian suara ke petugas-petugas di daerah, masing-masing daerah memiliki persepsi dan penyelesaiannya sendiri.
"Jangankan informasi bagi masyarakat umum, pengawas di daerah saja kurang mendapat informasi dengan lengkap," ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow. Ia mengatakan, sulitnya memperoleh informasi justru mengesankan adanya masalah atau kesalahan yang ditutupi.
"Dengan sikap seperti ini masyarakat akan curiga bahwa ada masalah yang disimpan KPU dan berdampak tidak baik terhadap proses rekapitulasi suara manual yang sedang berjalan saat ini,," kata Jeirry.
Hal serupa dikatakan Mantan Anggota KPU Valina Singka. Ia mengatakan, memang benar akses informasi bagi masyarakat masih kurang, misalnya banyak masyarakat tidak mengetahui Daftar Pemilih Sementara (DPS) serta tahapan pemilu lainnya.
"Penyebabnya bisa karena kurangnya pemahaman mengenai pentingnya informasi itu, pendanaan atau anggaran, dan keterbatasan SDM. Jika mengacu pada tahun 2004 solusinya dengan menggunakan tenaga `expert` (tenaga ahli) di luar KPU," katanya.(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009