Jakarta (ANTARA) - Harga minyak dunia selama Maret ini merosot secara signifikan hingga di bawah 30 dolar AS per barel. Harga bahkan sempat anjlok 25 persen dalam hitungan beberapa hari saja dan menyentuh rekor terparah sejak 29 tahun terakhir.
Posisi pada Selasa (31/3), harga minyak mentah berjangka berada dalam kisaran 21-24 dolar AS per barel. Padahal di awal tahun ini, harga minyak masih dalam kisaran 40 - 45 dolar AS per barel. Itu artinya harga sudah terpangkas separuhnya.
Para analis meyakini harga minyak terjun bebas sebagai akibat dari akumulasi faktor pelemahan ekonomi global yang diperparah oleh sentimen psikologis pasar. Wabah COVID-19 yang menerjang China dan menyebar ke belahan dunia lainnya, membuat tren harga minyak melemah sejak awal 2020. Pasar minyak mengantisipasi wabah virus ini akan membawa pelemahan pada ekonomi global yang selanjutnya menurunkan permintaan minyak mentah.
Di saat pasar minyak masih diliputi ketidakpastian menghadapi wabah virus, produsen minyak OPEC+ (gabungan eksportir minyak OPEC dan produsen besar di luar OPEC) melakukan pertemuan di Wina, Austria.
Pertemuan yang berlangsung pada 6 Maret 2020, membahas usulan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) agar OPEC+ memotong produksi minyak untuk mengangkat harga yang terus turun sejak penyebaran virus corona.
Arab Saudi mengusulkan agar OPEC+ memangkas produksi 1,5 juta barel per hari (bph), secara kolektif, hingga akhir 2020. OPEC menanggung pemangkasan 1 juta bph dan Non OPEC diminta berkontribusi mengurangi produksi 500 ribu bph. Jumlah pemangkasan ini setara dengan 2,6 persen dari total pasokan minyak global.
Sayangnya, kelompok kartel minyak itu gagal bersepakat mengatur pasokan minyak mereka. OPEC ingin memangkas produksi tetapi di satu sisi Rusia sebagai wakil Non OPEC tidak menyetujui usulan tersebut.
Ketidaksepakatan itu langsung membuat harga minyak rontok hingga 10 persen. Pasar panik karena ketakutan suplai akan membanjiri pasar. Apalagi ekonomi dunia masih diliputi ketidakpastian akibat isu COVID-19.
Baca juga: Presiden minta penurunan harga minyak dunia dikalkulasi dampaknya
Alih-alih terjadi "rebound", perkembangan harga minyak terus meluncur turun setelah Arab Saudi mengumumkan pemberian diskon harga minyaknya untuk pasar Asia dan Oman. Saudi Aramco, BUMN minyak Arab Saudi, bahkan menawarkan diskon lebih besar lagi ke konsumen Eropa.
Tidak hanya itu, Arab Saudi juga berencana menggenjot produksi minyaknya secara besar-besaran dari 10,65 juta bph menjadi 12 juta bph, pasca runtuhnya kesepakatan pemangkasan produksi OPEC+.
Tindakan Arab Saudi yang menguasai 40 persen dari total produksi OPEC sebesar 26,31 juta bph,
diduga sebagai strategi untuk memperluas pangsa pasar minyaknya di Asia dan Eropa.
Langkah Arab Saudi itu lantas diikuti oleh negara-negara penghasil minyak lainnya, yang memilih banting harga untuk merebut pasar global dan mempertahankan sumber penerimaan negaranya di tengah lesunya permintaan.
Kondisi seperti itu bisa jadi akan membuat harga minyak bertahan rendah dalam waktu cukup lama.
Goldman Sachs, bank investasi paling berpengaruh di dunia, memperkirakan harga kontrak minyak bisa menyentuh 20 dolar AS per barel jika terus terjadi perang harga.
Dampak ke Indonesia
Bagi Indonesia sebagai negara yang banyak melakukan impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), penurunan harga minyak bisa berdampak positif sekaligus negatif.
Sebagai net importir minyak (negara yang lebih banyak mengimpor minyak ketimbang ekspornya), Indonesia seharusnya bisa diuntungkan dengan turunnya harga minyak dunia.
Nilai impor minyak semestinya akan turun sehingga dapat menekan biaya produksi energi. Alhasil, harga energi terutama bahan bakar minyak (BBM) dan gas untuk konsumsi publik dan industri akan lebih rendah. Presiden Joko Widodo juga sudah meminta jajaran menterinya mengkaji penyesuaian harga BBM.
Penurunan harga BBM diharapkan dapat memberikan stimulus ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi karena efek COVID-19.
Semua produk BBM baik nonsubsidi maupun yang bersubsidi diharapkan bisa turun harganya. Harga BBM yang terjangkau dapat membantu sejumlah sektor khususnya dalam menghadapi pandemi COVID-19, sehingga diharapkan mampu menumbuhkan ekonomi domestik.
Perlu diingat pula bahwa penurunan harga energi bergantung pada seberapa cepat pemerintah dan Pertamina merespons penurunan harga minyak global dalam perhitungan harga energi. Pemerintah memang harus melihat pertimbangan lain dalam menghitung skema harga BBM. Termasuk di dalamnya faktor pelemahan kurs rupiah yang melewati Rp16.000 per dolar AS dan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP).
Baca juga: Minyak dunia anjlok, Wamen BUMN: Kita tunggu di mana titik stabilnya
Kondisi itu tentu bakal menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah dan produsen BBM dalam menghitung dampaknya secara ekonomi makro. Tetapi jika penurunan harga minyak tidak cepat ditransmisikan ke harga BBM dalam negeri, maka momentum untuk memanfaatkan dampak positif rendahnya harga minyak akan hilang.
Dampak positif lainnya dari penurunan harga minyak terkait belanja subsidi energi yang bisa semakin rendah, khususnya untuk BBM dan listrik. Dari sisi fiskal, pemerintah dapat memangkas beban subsidi energi yang dalam APBN 2020 besarannya mencapai Rp137,5 triliun. Pemangkasan beban subsidi energi ini dampaknya akan bagus untuk kesehatan fiskal atau APBN.
Keinginan pemerintah untuk melakukan penyesuaian anggaran atau Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan, sudah tepat. Berbagai target makro seperti harga minyak, lifting minyak dan subsidi energi mau tak mau harus dirasionalisasi, menyesuaikan dengan perkembangan situasi terkini.
Sementara pada sisi lain, jatuhnya harga minyak berpotensi menurunkan pendapatan pemerintah. Minyak sampai sekarang masih menjadi salah satu sumber pendapatan utama dalam APBN baik dalam bentuk penerimaan pajak, bagi hasil minyak dan pendapatan lainnya yang diperoleh pemerintah daerah.
Sejumlah ekonom mengingatkan perlunya pemerintah mewaspadai jika penurunan harga minyak berlangsung cukup lama. Sebab, penurunan harga minyak tiap 1 dolar AS bisa memangkas pendapatan negara dari ekspor minyak sebesar Rp4-5 triliun.
Sementara patokan ekspor minyak dalam APBN 2020 di angka 63 dolar AS per barel, jauh dari harga riil saat ini. Kondisi ini akan membuat kemampuan fiskal pemerintah semakin terbatas, terutama jika ingin melakukan kebijakan stimulus ekonomi.
Defisit APBN pun berpotensi makin lebar dari target 1,76 persen PDB karena penerimaan negara tergerus penurunan harga minyak. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan PPh sektor migas diprediksi akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan 30 persen penerimaan PNBP berasal dari migas.
Pelebaran defisit tersebut juga sudah dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di mana angkanya di kisaran 2,2 - 2,5 persen.
Anjloknya harga minyak dunia yang mendekati angka 20 dolar AS per barel juga dapat menyulitkan industri migas dalam negeri mengejar target produksi minyak siap jual (lifting) dalam APBN. Tahun ini, target lifting minyak ditetapkan 755 ribu barel minyak per hari (bopd) dan gas bumi 1.191 bopd.
Jika harga minyak rendah berlangsung cukup lama akan membuat industri hulu migas berpikir ulang melakukan kegiatan investasi dan produksi karena proyek menjadi tidak ekonomis.
Kalau pun proses produksi migas bisa dilakukan, mungkin dengan margin yang menipis. Oleh karena itu, pencapaian target lifting minyak Indonesia akan sangat bergantung pada seberapa lama kondisi harga minyak yang lemah akan bertahan.
Oleh karena itu pemerintah tetap perlu memberikan sejumlah insentif bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) termasuk Pertamina untuk tetap menjaga investasi sektor hulu di tengah penurunan harga minyak dunia.
Misalnya dalam hal relaksasi perpajakan, kemudahan pengurusan perizinan dan pembebasan lahan. Selain itu, membenahi berbagai regulasi yang menghambat investasi di sektor hulu migas.
Baca juga: Kadin minta antisipasi harga CPO turun dampak harga minyak anjlok
Baca juga: Luhut: anjloknya harga minyak dunia harus dicermati
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020