Samarinda (ANTARA News) - Warga Samarinda yang ingin membangun tempat tinggal atau bangunan lain, diusulkan membuat rumah panggung karena dinilai bisa menjadi alternatif menyongsong banjir yang dalam beberapa tahun terakhir berulang-ulang mendera kota berpenduduk sekitar 700.000 jiwa itu.
"Rumah panggung jadi pilihan untuk menekan aktivitas pengurukan dan penimbunan tanah. Diperkirakan bahwa salah satu faktor penyebab banjir akibat banyaknya daerah tangkapan air berubah fungsi, misalnya kawasan rawa-rawa berubah menjadi lokasi perumahan dan perkantoran," kata anggota DPRD Kaltim, Entjik Widyani di Samarinda, Minggu.
Dalam satu pekan terakhir, banjir cukup besar melanda Samarinda, padahal awal 2009 juga terjadi kasus serupa, bahkan pada 2008 tercatat lima kali musibah tersebut mendera ibukota Provinsi Kaltim itu.
Musibah banjir di Samarinda kian mengkhawatirkan karena bukan lagi bencana siklus tahunan dengan interval waktu cukup lama --dulunya banjir besar terjadi pada siklus lima tahunan atau 10 tahunan-- namun kini setiap hujan lebat beberapa hari maka sejumlah kawasan akan tergenang air cukup tinggi.
Kondisi itu akan lebih parah apabila bersamaan dengan pasangnya air Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus yang membelah "Kota Tepian" itu.
"Dulu, banjir jarang terjadi karena hutan masih lebat serta banyak area kawasan tangkapan air hujan, apalagi hampir semua rumah warga adalah rumah panggung namun kini rumah panggung jarang terlihat, hanya rumah-rumah beton," katanya.
Rumah-rumah dan bangunan beton itu memperburuk kondisi lingkungan di Samarinda karena harus menutupi beberapa lokasi yang sebenarnya adalah area tangkapan air, yakni kawasan rawa-rawa.
Misalnya pada daerah aliran sungai (DAS) sepanjang Karang Mumus, antara lain di Merak, DR. Soetomo, Jl. Pemuda Dalam, dan Jl. Cenderawasih kawasan yang dulunya rawa-rawa, terutama beberapa ratus meter dari bantaran sungai sudah hampir seluruhnya diuruk tanah dan di atasnya berdiri bangunan dan rumah beton.
"Jadi ada pendapat yang mengatakan bahwa banjir yang terjadi berulang-ulang di Samarinda bukan akibat faktor alam namun karena ulah manusia, ada benarnya karena kita yang tidak memelihara area tangkapan air hujan itu," imbuh dia.
Kalau perlu, katanya, Pemda bersama DPRD membuat payung hukum (Perda) yang mengatur teknis pembangunan gedung dan rumah yang menggunakan tiang-tiang pada kawasan area tangkapan air.
Perda tersebut diharapkan mengatur agar pembangunan Ruko (rumah toko), gudang dan bangunan lain tidak boleh menguruk atau menimbun kawasan yang menjadi area tangkapan air hujan.
"Sebenarnya, rumah panggung sangat indah dan artistik ketimbang rumah beton dan sangat mendukung program menekan kasus banjir," imbuh dia.
Ia menuturkan bahwa kelebihan rumah panggung adalah penyesuaian suhu di dalam rumah cepat berubah karena tidak langsung bersentuhan dengan tanah atau beton sehingga sirkulasi udara lebih bagus.
"Rumah panggung yang kini jarang terlihat bisa menambah keindahan kota serta mendukung program kepariwisataan apalagi diperindah dengan ornamen lokal, misalnya ukiran Dayak," papar dia.
Satu pekan terakhir, Samarinda didera banjir cukup besar sehingga meliputi tiga kecamatan, yakni Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan samarinda Ilir dan Kecamatan Samarinda, hal itu menyebabkan sedikitnya 40.000 jiwa warga menjadi korban karena rumahnya terendam air antara 30 Cm sampai satu meter.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009