Jakarta (ANTARA News) - Syari`at Islam secara garis besar meliputi dua aspek, yakni (1) ajaran yang murni merupakan hubungan antara manusia dengan Allah, yang disebut ibadah, seperti shalat dan puasa, (2) ajaran yang murni merupakan hubungan antarmanusia (hubungan sosial), yang disebut mu`amalah (dalam arti luas), seperti hukum tentang perdagangan, keuangan, perbuatan kriminal dan sebagainya.
Di samping itu, terdapat juga ajaran yang merupakan ibadah berdimensi sosial, yakni zakat dan wakaf.
Dalam fiqh klasik pembagian ini terdiri atas: `ibadat, munakahat, mu`amalat, dan jinayat. Namun pada masa kini, istilah munakahat sering disebut sebagai al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum perorangan), yang meliputi perkawinan, kewarisan, dan zakat-wakaf.
Ajaran-ajaran atau hukum-hukum tersebut pada umumnya mengandung filosofi atau hikmah yang rasional (ma`qul al-ma`na atau ta`aqquli). Hanya sedikit sekali ajaran yang bersifat suprarasional (ghair ma`qul al-ma?na), hanya semata-mata sebagai penghambaan manusia kepada Allah (ta`anbudi), yakni hanya ajaran yang merupakan ibadah mahdhah (murni).
Sebagai ibadah yang berdimensi sosial, maka wakaf mempunyai filosofi dan hikmah yang sangat rasional bermanfaat bagi kehidupan umat. Manfaat ini sudah terbukti dalam sejarah umat Islam, sejak awal sampai kini.
Hal tersebut memang sangat tergantung kepada kemampuan umat sendiri untuk mengaktualisasikan filosofi dan hikmah wakaf dalam kehidupan umat.
Kini manfaat atau hikmah ini belum diwujudkan secara optimal, yang disebabkan beberapa faktor, baik bersifat internal maupun eksternal.
Akan tetapi faktor internal yang lebih menentukan potensi wakaf itu belum teraktualisasikan sepenuhnya dalam kehidupan umat, misalnya kurangnya perhatian terhadap potensi wakaf, dan terbatasnya kemampuan para pengelola (nazhir) wakaf untuk mendayagunakan secara efektif dan produktif.
Jika ditelisik, wakaf (endowment) secara umum sebenarnya sudah ada sebelum masa Nabi Muhammad SAW. Pada masa Fir`aun di Mesir, misalnya, masyarakat telah mengenal praktik wakaf dalam kehidupan sehari-hari.
Bentuknya berupa tanah pertanian, yang diwakafkan oleh penguasa atau orang-orang kaya dan dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Lalu hasilnya digunakan untuk berbagai kepentingan umum.
Ensiklopedia Grolyier International menyebutkan, praktik wakaf seperti itu juga telah dikenal oleh masyarakat Yunani dan Romawi.
Kedua negara tersebut juga telah mempraktikkan jenis filantropi ini untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan perpustakaan yang dapat diakses oleh masyarakat umum.
Kini beberapa universitas besar di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, juga menjadikan wakaf (endowment) untuk pembiayaan pendidikan, riset (penelitian), sarana dan prasarana pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena besarnya manfaat wakaf ini, maka wakaf tidak cukup hanya dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja, tetapi juga filosofi dan hikmahnya, sehingga pengumpulan harta wakaf dan pendayagunaannya bisa dilakukan seoptimal mungkin.
Wakaf sebagai ibadah sosial
Ibadah sosial adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Ini adalah satu paket dalam kesempurnaan ibadah seorang hamba di samping kesalehan dalam ibadah vertikal, habl min Allah. Keduanya ibarat dua keping mata uang yang tak terpisahkan.
Wakaf, dalam konteks ini, masuk dalam kategori ibadah sosial. Dalam pandangan agama, wakaf adalah bentuk amal jariah yang pahala akan terus mengalir hingga hari akhir, meski orangnya telah tutup usia.
Rasulallah SAW bersabda, "Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya" (HR. Muslim).
Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim menjelaskan, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah adalah wakaf. Sedangkan yang dimaksud wakaf adalah menahan harta dan membagikan (memanfaatkan) hasilnya.
Wakaf mempunyai derajat khusus, karena ia mempunyai manfaat yang besar bagi kemajuan umat. Maka suatu hal wajar apabila wakaf disamakan statusnya dengan ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya. Itulah keistimewaan wakaf, yang tidak dimiliki amal ibadah lain.
Wakaf disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah. Para `ulama berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap tanahnya yang terletak di Khaibar (Tafsir Ibnu Katsir Juz I 381; Fiqh al-Sunnah, jilid III: 381; Subul al-salam: 87).
Menurut keterangan Ibnu Umar, shahabat Umar ibn Khaththab menyedekahkan hasil wakafnya itu kepada fakir miskin, shahabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan kepada para tamu.
Pendapat lain mengatakan, wakaf pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tanahnya yang digunakan untuk masjid Quba di Madinah, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Umar ibn Sya`bah dari Amr ibn Sa`ad ibn Muadz, berkata: "Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam, orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedang orang-orang Anshor mengatakan wakaf Rasulullah SAW ." (Asy-Syaukani 1374 H: 129)
Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan untuk amal sosial atau kepentingan umum, sebagaimana dilakukan oleh sahabat `Umar ibn Khaththab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya (budak) yang sedang berusaha menebus dirinya.
Wakaf ini ditujukan kepada umum, dengan tidak membatasi penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
Kepentingan umum itu kini bisa berupa jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan salah satu segi dari bentuk-bentuk penggunaan wakaf membelanjakan atau memanfaatkan harta di jalan Allah SWT melalui pintu wakaf.
Dengan demikian, dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, maka wakaf sangat berjasa besar dalam membangun berbagai sarana untuk kepentingan umum demi kesejahteraan umat.
Wakaf mengalirkan pahala tiada akhir
Dalil yang menjadi dasar keutamaan ibadah wakaf dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits. Antara lain, pertama, surat Ali Imran ayat 92.
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui".
Kedua, surat al-Baqarah ayat 261. "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh 100 biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Ketiga, hadits tentang shadaqah jariyah, sebagaimana telah disinggung di atas. Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, "Apabila anak Adam meninggal dunia maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya." Hadits ini dikemukakan dalam bab wakaf, karena shadaqah jariyah oleh para ulama ditafsirkan sebagai wakaf.
Di antara para ulama yang menafsirkan dan mengelompokkan shadaqah jariyah sebagai wakaf adalah Asy-Syaukani, Sayyid Sabiq, Imam Taqiyuddin, dan Abu Bakr.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud shadaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah wakaf. Itulah antara lain beberapa dalil yang menjadi dasar hukum disyariatkannya wakaf dalam Islam.
Kemudian dari segi keutamaannya, Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata, "wakaf adalah sedekah yang paling mulia. Allah SWT menganjurkannya dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi yang berwakaf, karena sedekah berupa wakaf tetap terus mengalirkan kebaikan dan mashlahat"?.
Ada pun keutamaan wakaf ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Bagi penerima hasil (mauquf alaih), wakaf akan menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan orang yang membutuhkan bantuan, seperti fakir miskin, anak yatim, korban bencana, orang yang tidak punya usaha dan pekerjaan, orang yang berjihad di jalan Allah .
Wakaf juga memberi manfaat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bantuan bagi para pengajar dan penuntut ilmu, serta berbagai pelayanan kemaslahatan umat yang lain.
Sementara itu, bagi pewakaf (wakif), wakaf merupakan amal kebaikan yang tak akan ada habisnya bagi orang yang berwakaf. Oleh karena itu , barang yang diwakafkan itu tetap utuh sampai kapan pun. Di samping utuh, barang tersebut juga dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Dengan begitu, pahala yang dihasilkan terus mengalir kepada wakif, meskipun ia sudah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan keutamaan wakaf dibanding dengan ibadah lainnya yang sejenis, seperti zakat.
Beberapa penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit).
Jadi, wakaf adalah jenis ibadah yang istimewa dan utama bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya dengan memberikan harta untuk wakaf, maka manfaat dan hasilnya dapat terus berlipat tanpa henti.
Jika disederhanakan, filosofi orientasi dan hikmah dalam wakaf itu terdapat tiga poin. Pertama, wakaf untuk sarana prasarana dan aktivitas sosial. Kedua, wakaf untuk peningkatan peradaban umat. Dan ketiga, wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Sarana ibadah dan aktivitas sosial
Sebenarnya wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Arab kuno di Makkah sebelum kedatangan Muhammad SAW . Di tempat itu, terdapat bangunan ka`bah yang dijadikan sarana peribadatan bagi masyarakat setempat.
Al-Quran menyebutnya sebagai tempat ibadah pertama bagi manusia, yakni Q.S. Ali Imran ayat 96: "Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah
(Ka`bah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua masnusia".
Oleh karena itu, bisa dikatakan, ka`bah merupakan wakaf pertama yang dikenal manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan agama.
Sementara itu, dalam Islam, tradisi ini dirintis oleh Rasulullah Muhammad SAW yang membangun masjid Quba di awal kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan sebagai penanda wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan peribadatan dalam agama.
Ini terjadi tak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah. Selain itu, Nabi juga membangun Masjid Nabawi yang didirikan di atas tanah anak Yatim dari bani Najjar. Tanah itu telah dibeli Nabi dengan harga 800 dirham. Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana peribadatan umat Islam.
Hal tersebut kemudian ditetapkan sebagai ibadah, yang diteladani umat Islam di segala penjuru. Maka tak heran kalau kini banyak ditemukan masjid hasil wakaf. Di antara masjid-masjid masyhur di dunia yang dikelola dengan wakaf, antara lain, Masjid Al-Azhar dan Masjid Al-Husain di Mesir, Masjid Umawi di Suriah , dan Masjid al-Qairawan di Tunis. Masjid-masjid itu tak hanya digunakan sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai tempat dakwah dan pendidikan Islam serta pelayanan umat dalam bidang-bidang lainnya.
Peningkatan peradaban umat
Masjid sebagai harta wakaf di masa awal Islam mempunyai peran yang signifikan. Selain sebagai sarana ibadah, ia juga digunakan untuk pendidikan dan pengajaran, yang biasa disebut dengan halaqah, lingkaran studi. Kegiatan ini tak lain merupakan bagian dari upaya mencerdaskan dan membangun peradaban umat. Di tempat itu, diajarkan cara membaca al-Quran dan menulis. Di samping itu, didirikan pula katatib, sejenis sekolah dasar yang mengajarkan membaca, menulis, bahasa arab, dan ilmu matematika.
Kemudian dari masjid-masjid itu lahirlah beribu-ribu sekolah (madrasah) yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar. Itu adalah bagian dari keberhasilan umat Islam dalam mengelola harta hasil berderma. Satu misal, kerajaan Bani Abasiyah mempunyai tiga puluh diwan (kementerian) dalam pemerintahannya. Namun dari 30 diwan itu tidak ada satupun yang mengurus tentang pendidikan, karena pendidikan dikelola dengan baik dan didanai secara cukup oleh wakaf. Bahkan, hal sekecil apapun yang terkait dengan pendidikan juga disediakan, apalagi fasilitas pokok lainnya.
Abdul Qadir Annaimy (wafat 927 H) menjelaskan dalam kitabnya, Addaaris Fittaarikh Al Madaris, bahwa wakaf pada saat itu banyak yang dikhususkan untuk membeli alat-alat gambar untuk para pelajar dari pemuda-pemuda Makkah dan Madinah. Bahkan Ibnu Ruzaik telah mewakafkan harta untuk menyediakan pulpen, kertas, dan tinta. Harta hasil wakaf umat Islam, kala itu, juga banyak digunakan untuk kegiatan ilmiah. Misalnya, Ibnu Ala Almaary setelah tamat belajar pada sekolah yang didanai wakaf di kota Halab, dia pergi ke Bagdad untuk menambah wawasan dan melakukan penelitian, serta bergabung dalam diskusi-diskusi umum dan filsafat. Walaupun ia mensosialisasikan pemikiran filsafatnya yang di antaranya bertentangan dengan opini keagamaan yang berlaku pada saat itu, ia tetap mendapatkan subsidi dari wakaf dan tidak dihentikan.
Selain Ibnu Ala Almaary, seorang ahli ilmu matematik, ilmuwan lain yang mendapatkan biaya dari harta wakaf adalah Yusup murid Imam Abu Hanifah yang menjabat sebagai qadha qudhat (hakim agung kerajaan Bani Abasiah), Muhammad Alkhawarijmy seorang ahli ilmu aljabar, Ibnu Sina seorang ahli kedokteran, Ibnu Hisyam seorang ahli optik, dan lainnya.
Satu hal yang yang perlu dicatat dari perilaku ilmuwan-ilmuwan yang hidup dan besar dari wakaf adalah semangat mereka untuk mencari kebenaran.
Lembaga wakaf yang telah mendanainya tidak mengikat dan mengharuskan mereka untuk membawa misi tertentu. Namun para ilmuwan itu siap mensosialisasikan hasil penelitiannya kepada masyarakat umum dengan motivasi semata-mata karena Allah.
Dalam sejarah, wakaf model ini termasuk di antara manfaat wakaf yang paling mendapat perhatian besar dari umat Islam. Hampir di setiap kota besar di negara-negara Islam, bisa dipastikan, terdapat sekolah, universitas, perpustakaan, dan Islamic centre dari hasil wakaf, seperti di Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan berbagai tempat lain.
Wakaf untuk kegiatan ilmiah tersebut kini tetap dilaksanakan, terutama dalam bentuk beasiswa, gaji pengajar, biaya penelitian (riset), penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti perpustakan dan alat-alat laboratorium, dan sebagainya. Salah satu contoh wakaf untuk kepentingan ilmiah adalah Universitas al-Azhar di Mesir yang berdiri lebih dari 1000 tahun lalu. Hingga kini pembiayaan universitas kebanggaan umat Islam itu dikelola dari harta wakaf. Hal semacam ini juga terjadi di seluruh dunia Islam pada masa kini, termasuk di Indonesia, walau pemanfaatnya belum optimal.
Peningkatan kesejahteraan umat
Kalau ditarik benang merah dari beberapa pembahasan di atas, maka akan tampak jelas, bahwa hikmah lain disyariatkannya wakaf adalah untuk menyejahterakan kehidupan manusia secara umum.
Hal ini sejalan dengan pandangan ulama Al-Azhar Mesir Ali Ahmad al-Jurjawi, penulis Hikmah al-Tasyri` wa Falsafatuhu. Menurut dia , wakaf seharusnya mampu mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dengan si miskin, serta dapat meningkatkan taraf hidup manusia.
Allah berfirman dalam al-Quran, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai".(QS. Ali Imran: 92).
Ketika ayat itu turun, sahabat Nabi Abu Thalhah berkata, Wahai Rasul Allah, saya ingin mendermakan kebunku karena Allah. Kemudian, Nabi menasehatinya agar kebun tersebut didermakan untuk kepentingan orang-orang fakir miskin.
Kemudian Umar ibn Khattab pun melakukan hal yang sama. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Ibn Umar, ia berkata
"Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW . meminta untuk mengolahnya, sambil berkata: Ya Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat? Rasulullah bersabda: Jika engkau menginginkannya tahanlah tanah itu dan shadaqohkan hasilnya.
Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia menshadaqahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu?.
Wakaf untuk kesejahteraan umum ini, kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk. Pertama, wakaf untuk fasilitas umum, seperti wakaf sumur dan sumber mata air. Ini bisa dijumpai di tepi-tepi jalan yang bisa menjadi lalu lintas jamaah haji yang datang dari Irak, Syam, Mesir, dan Yaman, serta kafilah yang bepergian menuju India dan Afrika.
Di antara sumur-sumur itu, terdapat wakaf sumur Zubaidah, isteri Harun al-Rasyid, khalifah pemerintahan Abbasiyah. Yang termasuk bentuk ini adalah wakaf jalan dan jembatan.
Kedua, wakaf khusus untuk bantuan orang-orang fakir miskin. Wakaf ini seperti yang digambarkan dalam hadits di atas. Hasil pengelolaannya digunakan untuk pemberdayaan masyarakar yang masuk kategori fakir dan miskin.
Wujud dari wakaf ini kini bisa beraneka ragam, ada yang diwujudkan dalam bantuan beasiswa, pengobatan gratis, balai pendidikan dan pelatihan cuma-cuma, bantuan permodalan dan sebagainya.
Ketiga, wakaf untuk pelestarian lingkungan hidup. Wakaf ini menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia juga harus didukung keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup di sekitar. Perbaikan masyarakat tanpa dibarengi pelestarian lingkungan, tentu perbaikan tersebut berjalan dengan paradoks.
Karena itu, harus seimbang, misalnya, wakaf tanah terbuka hijau di tengah perkotaan, wakaf sungai dan saluran air, serta wakaf untuk burung-burung merpati seperti di Masjidil Haram, Makkah.
Beberapa kutipan hadits dan uraian di atas mempertegas, bahwa wakaf mempunyai dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Perkebunan yang dijadikan contoh di atas dikelola dengan baik, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang membutuhkan, terutama orang-orang miskin untuk memenuhi kebutuh dasar mereka, sehingga mereka tidak sampai kelaparan.
Wakaf bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, dan pahalanya terus mekar sebagai bekal investasi kelak di akhirat. (*)
[Penulis adalah Kepala Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia].
Oleh Oleh Prof Dr. Masykuri Abdilla
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009