"Belum terasa (dampaknya, red). Biasanya beberapa bulan, baru terlihat," katanya menjawab pers di Jakarta, Jumat.
Pernyataan itu terkait dengan perkiraan sejumlah kalangan bahwa penguatan kurs rupiah dolar AS pada kisaran Rp10.000 per dolar AS akhir-akhir ini harus bisa dijaga agar berdampak pada perekonomian nasional.
Kurs rupiah per dolar AS hingga penutupan hari ini (24/4)di sejumlah pasar uang di ibukota Rp10.818, jauh menguat dibanding sejak pertengahan tahun lalu hingga menjelang Pemilu legislatif yang menyentuh pada kisaran Rp12.000 per dolar AS.
Menurut Jusman, pertumbuhan sektor transportasi biasanya satu setengah hingga dua kali Produk Domestik Bruto (GDP). "Jadi, memang lebih cepat," katanya.
Namun, tegasnya, prinsip umumnya sama yakni jika ekonomi tumbuh maka transportasi juga tumbuh dan sebaliknya.
"Transportasi kan salah satu urat nadi pertumbuhan ekonomi," katanya.
Salah satu pelaku sektor transportasi, Manajer Humas Sriwijaya Air, Ruth Hana Simatupang mengaku, penguatan rupiah terhadap dolar AS hingga pada kisaran Rp10.000 per dolar AS, sangat signifikan terhadap biaya.
"Khususnya biaya untuk pengadaan dan pembelian suku cadang dan alat pendukung keselamatan dan keamanan penerbangan (safety)," katanya.
Dia mencontohkan, Sriwijaya Air ketika kurs Rp12.000-an per dolar AS, terpaksa menunda pembelian alat penunjang safety non-mandatory karena harganya jauh lebih mahal.
"Kini, setelah rupiah menguat, kami mempertimbangkan untuk membelinya pada beberapa pesawat kami," katanya tanpa merinci alat yang dimaksud.
Sementara, kalau dampak terhadap tingkat isian penumpang, Ruth mengaku, secara instan belum. "Mungkin beberapa bulan lagi, baru terasa dampaknya. Apalagi, saat krisis global begini," kata Ruth.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009