Jakarta (ANTARA) - Sutradara Fajar Bustomi beberapa tahun terakhir identik dengan karya film remaja, sebut saja "Dilan 1990", "Dilan 1991", "Milea: Suara dari Dilan" dan "Mariposa" dengan pencapaian lebih dari satu juta penonton versi laman Film Indonesia.

Dia mengaku banyak belajar melalui film-film ini. Salah satunya menjadikan cerita sebagai poin utama ketimbang teknis-teknis produksi film yang selama ini dia pelajari.

Menurut Fajar, cerita yang dia hadirkan cenderung sederhana namun tak melepas rasa. Dari sinilah Fajar mendapatkan kenikmatan dalam berkarya. Perlahan dia nyaman pada kisah-kisah yang sederhana.

"Mungkin karena sudah banyak film yang menurut penonton berlebihan. Padahal kenikmatan menonton film ketika kita mendapatkan rasa, identifikasi kita ke film dekat. Kita masuk ke dunia film," kata dia kepada ANTARA di Jakarta belum lama ini.

Baca juga: Profesi aktor suara diprediksi akan semakin dibutuhkan

Baca juga: Lima film Indonesia yang lebih dulu terkenal di luar negeri

Untuk keperluan cerita, Fajar harus turun ke sekolah-sekolah, bertemu langsung para remaja dan bergaul dengan mereka. Riset ini banyak membantunya dalam membuat film yang terhubung dengan remaja generasi masa kini.

Dia juga kerap berdiskusi dengan para pemain dalam filmnya. Kemudian dari sanalah beragam kata kunci dia dapatkan untuk memperkaya film yang dibuatnya.

"Yang pasti remaja itu harus energik, harus ada kerennya, harus memunculkan itu. Remaja kan pemikirannya liar. Merdeka banget. Makanya banyak karya tercipta dari remaja karena cara berpikirnya enggak dibatesin sama kotak.

"Kerennya itu harus di-connect-in sama kerennya anak-anak zaman sekarang. Harus ada hal baru," papar dia.

Baca juga: Daftar film Indonesia yang sukses adaptasi karya sineas Korea Selatan

Baca juga: Pesan Joko Anwar untuk sineas yang masih syuting film


Selain cerita, ternyata pria memiliki darah Aceh dan Minangkabau itu juga memiliki patokan sendiri saat membuat film remaja. Dan sosok anaknya merupakan patokannya.

Dia selalu berpikir, anak-anaknya akan menonton karya film ayahnya suatu saat nanti. Dia ingin anak-anaknya bangga usai menonton bukannya justru malu atau bahkan mendapatkan efek negatif di kemudian hari.

Inilah alasan utama pria yang memulai debut sebagai sutradara pada tahun 2008 melalui film "Bestfriend?". Ia bersikeras tak ingin membuat fim bergenre horor. Padahal tawaran terus mengalir padanya.

"Saya selalu menolak tawaran bikin film horor karena saya sayang sama anak," ucap dia.

"Saya mau anak saya hidup menjadi orang yang pemberani, tidak takut setan. Saya enggak mau anak saya menonton film saya terus jadi takut sama setan. Anak jadi patokan saya," tutur dia.

Ulasan tentang Film tentang perempuan ada di halaman berikutnya...

Baca juga: Jalan panjang untuk film animasi Indonesia

Baca juga: Lebih asyik mana, bikin film anggaran besar atau produksi lama?

Baca juga: Rayakan Hari Film Nasional, saksikan 10 rekomendasi film Indonesia

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020