"Kami dorong apakah itu dalam bentuk Perppu atau revisi UU Pilkada. Tadi Feri Amsari (Direktur PUSaKO FH Unand) mengatakan tidak mungkin kalau menggunakan jalur normal (revisi UU) sehingga paling efektif dengan Perppu," kata Arief dalam diskusi bertajuk "COVID-19 Mewabah: Presiden Perlu Segera Terbitkan Perppu Penundaan Pilkada" yang dilakukan secara daringg, di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Pemerintah apresiasi penundaan tahapan Pilkada 2020 oleh KPU
Baca juga: KPU rancang opsi penundaan Pilkada 2020
Baca juga: Pengamat: Pilkada 2020 ditunda ke 2022 lebih realistis
Menurut Arief, perubahan aturan tersebut, bukan hanya soal penundaan pemilihan Pilkada yang seharusnya dilakukan pada September 2020. Karena menurut dia, kalau soal penundaan diubah maka ada pasal lain yang berkaitan misalnya bagaimana dengan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2020.
"Pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda lalu bagaimana dengan kepala daerah yang terpilih 2015 akan berakhir masa jabatannya Juni 2020. Apakah posisi kepala daerah diisi oleh Penanggung Jawab dengan durasi yang terlalu lama ketika Pilkada 2020 ditunda," ujarnya.
Arief menjelaskan, setelah pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa masa tanggap darurat COVID-19 diberlakukan sampai Mei 2020, maka KPU mengeluarkan putusan penundaan tahapan Pilkada 2020.
Menurut dia, memang yang diberikan kewenangan tersebut adalah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota namun dalam UU disebutkan bahwa KPU RI sebagai penanggungjawab akhir dalam pelaksanaan Pemilu.
"Atas dasar itu maka cukup alasan untuk KPU mengeluarkan penundaan terkait empat hal yaitu pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual calon perseorangan, pembentukan petugas panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), dan pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit) serta pemutakhiran dan daftar pemilih," katanya.
Arief menjelaskan, awalnya KPU memundurkan jadwal pelaksanaan Pilkada 2020 menjadi bulan Desember 2020 namun setelah dicermati, jadwal tersebut terlalu berisiko karena kalau tidak terlaksana maka akan mengeluarkan energi.
Lalu menurut dia, di rencanakan pelaksanaannya bulan Maret 2021 dengan asumsi wabah COVID-19 sudah reda sehingga bisa memulai tahapan Pilkada.
"Namun dari beberapa pemberitaan, diprediksi COVID-19 berhenti di bulan Oktober 2020 maka saya tidak bisa pastikan apakah penyelenggara Pemilu bisa bergerak bebas tidak alami pembatasan. Karena itu sangat riskan kalau Pilkada dilaksanakan Maret 2021 kalau diperkirakan COVID-19 selesai Oktober 2020," ujarnya.
Karena itu menurut dia, akhirnya KPU RI memutuskan Pilkada 2020 ditunda hingga satu tahun sehingga pelaksanaannya dilaksanakan pada September 2021.
Namun dia menyadari akan ada banyak hal yang harus diubah misalnya sinkronisasi data pemilih karena jarak pelaksanaan Pilkada setahun maka akan mengubah jumlah pemilih.
"Lalu siapa yang berhak ikuti Pilkada di tahun 2020, ada pertanyaan apakah peserta yang sama diikutkan pada September 2021? Selain itu, akan lebih banyak daerah yang diisi pejabat dengan durasi masa jabatan yang lama," katanya.
Karena itu menurut dia, KPU sudah memikirkan hal aturannya termasuk kemungkinan dikeluarkannya Perppu karena ketentuan pelaksanaan Pilkada 2020 pada September 2020 diatur dalam UU.
Dalam Pasal 201 ayat (6) UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada September 2020.
Hadir dalam diskusi tersebut Ketua KPU RI Arief Budiman, Pendiri Netgrit Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Deputi Direktur Perludem Khoirunnisa Agustyati, Tenaga Ahli Utama KSP Sigit Pamungkas, Direktur PUSaKO FH Unand Feri Amsari, dan Erika Widyaningsih dari Rumah Kebangsaan.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020