"Jika Rusia memilih mengirim pengamat, maka saya rasa itu sesuatu dipandang oleh aliansi sebagai sangat positif, sebagai sebuah cara melenyapkan kemungkinan salah paham atau kekhawatiran," kata jurubicara NATO James Appathurai.
"Rusia harus melihat, dan jika mereka mengirim pengamat, maka mereka akan melihat bahwa dalam hal jumlah prajurit di lapangan, dalam hal apa yang mereka lakukan... latihan ini tidak melakukan hal yang lain kecuali menopang keamanan internasional," katanya.
Rusia menyebut latihan militer yang dijadwalkan berlangsung dari 6 Mei hingga 1 Juni di Georgia, negara yang berharap menjadi anggota NATO, sebagai "provokatif", namun Appathurai mengatakan bahwa latihan-latihan anti-teror itu hanya diikuti oleh ratusan prajurit.
"Kami berbicara mengenai sekitar 400-450 prajurit yang berlatih untuk mempertahankan diri terhadap serangan teroris. Ini, saya rasa, seharusnya jelas-jelas tidak menjadi ancaman bagi siapa pun," katanya kepada wartawan di Brussel.
Selasa, Rusia memberi tahu NATO bahwa mereka menarik diri dari pertemuan militer tingkat tinggi pada 7 Mei, namun tidak mengaitkan langkah itu dengan kekhawatirannya atas latihan tersebut, kata seorang jurubicara aliansi itu.
NATO membekukan pertemuan tingkat tinggi dengan Rusia setelah Moskow mengirim pasukan ke Georgia pada Agustus lalu dan kemudian mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis, Abkhazia dan Ossetia Selatan.
Pertemuan Dewan NATO-Rusia -- forum dimana aliansi militer terbesar dunia itu dan Moskow bekerja bersama-sama dalam menghadapi tantangan keamanan dan membahas banyak perbedaan mereka -- baru dimulai lagi akhir-akhir ini dalam sebuah tingkat informal.
Sementara itu di Helsinki, Menteri Luar Negeri Georgia Grigol Vashadze mengatakan, Tbilisi memiliki hak untuk melakukan latihan-latihan militer dengan NATO.
"Latihan itu tidak menimbulkan ancaman bagi siapa pun dan adalah hak berdaulat negara lain untuk ikut atau tidak ikut," katanya kepada wartawan.
Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.
Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada Agustus tahun lalu menyangkut Ossetia Selatan.
Selain Ossetia Selatan, Abkhazia juga memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.
Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat
Ossetia Selatan pada 11/3 menyatakan akan mengizinkan pasukan Rusia menggunakan wilayah tersebut untuk pangkalan militer selama 99 tahun.
Pemimpin Abkhazia Sergei Bagapsh juga mengatakan sebelumnya pada Maret, provinsi itu akan segera menandatangani sebuah perjanjian yang mengizinkan Rusia membangun sebuah pangkalan di wilayah separatis lain Georgia itu untuk kurun waktu 49 tahun.
Rencana Rusia untuk tetap menempatkan ribuan prajurit di Abkhazia dan Ossetia Selatan telah membuat marah Tbilisi dan sekutu-sekutu Barat-nya, yang mengatakan bahwa hal itu melanggar gencatan senjata yang mengakhiri perang.
Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.
Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.
Nikaragua memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009