Surabaya (ANTARA News) - Pengamat hukum pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H., menilai anggota DPR RI sengaja membatasi kiprah KPK dalam RUU Tipikor hingga tingkat penyidikan saja, bukan penuntutan dan seterusnya.

"Tidak hanya kiprah KPK dalam RUU Tipikor yang sengaja dihalangi DPR, tapi adanya hakim adhoc dalam RUU Peradilan Tipikor juga sengaja dihalangi DPR," kata guru besar Fakultas Hukum (FH) Unair Surabaya itu setelah berbicara dalam seminar `Mendorong RUU Tipikor Yang Ideal` di Surabaya, Selasa.

Dalam seminar yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya bekerja sama dengan Legal Development Facility (LDF) Indonesia-Australia itu, pembicara dan peserta juga mengadakan lokakarya untuk membahas draft RUU Tipikor versi pemerintah dan draft RUU Tipikor versi masyarakat.

Saat ini, draft RUU Tipikor masih berada di DepkumHAM dan belum disampaikan ke DPR RI, sedangkan RUU Peradilan Tipikor sudah berada di Komisi III DPR RI dengan batas waktu pembahasan hingga 31 Desember 2009.

Menurut wakil dekan di FH Unair Surabaya itu, upaya menghambat KPK dengan batasan kiprah hanya sampai pada tahap penyidikan dalam menangani perkara korupsi itu akan berbenturan dengan UU KPK yang hingga kini masih berlaku atau belum dicabut.

"Kalau hambatan adanya hakim adhoc di daerah-daerah dalam RUU Peradilan Tipikor, karena DPR akan dirugikan bila ada hakim adhoc Tipikor di daerah-daerah. Kalau sampai hakim adhoc ada di daerah-daerah, maka akan banyak anggota DPR/DPRD yang masuk penjara," katanya.

Namun, katanya, tarik ulur pembahasan RUU Peradilan Tipikor dan RUU Tipikor itu cukup alot, karena kedua RUU itu memang menyangkut kepentingan politik dari elite politik di DPR/DPRD, akibat banyaknya anggota DPR/DPRD yang terjerat kasus korupsi.

"Karena itu, pembahasan RUU Peradilan Tipikor sengaja dibuat lambat. Saya kira hal yang sama juga akan dilakukan DPR untuk RUU Tipikor bila RUU yang sampai saat ini masih ada di Depkumham sudah sampai ke tangan DPR. Jadi, DPR sebenarnya menghambat penegakan hukum juga," katanya.

Dalam seminar yang dipandu direktur LBH Surabaya, M. Syaiful Aris S.H., itu juga menampilkan Arsil dari Lembaga Advokasi dan Kajian untuk Indepedensi Peradilan (LeIP), Sony dari Kejati Jatim, dan Lutfi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), selaku pembicara lain.

"Saya kira, sudah saatnya lembaga peradilan menyiapkan sistem terbuka yang mudah diakses lewat internet, sebab hal itu akan dapat mengembangkan rasa malu yang membuat orang jera berbuat jahat," kata Lutfi dari ICW. *
(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009