Jakarta, (ANTARA News) - Kota-kota di Indonesia belum membutuhkan incinerator (tempat membakar sampah) sebagai solusi mengatasi sampah, berhubung incinerator merupakan teknologi yang mahal, demikian peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT).

"Singapura menggunakan incinerator karena memang sudah tak mempunyai lahan cukup untuk sampahnya," kata Perekayasa Teknologi Lingkungan BPPT Henky Sutanto di Jakarta, Selasa.

Selain itu, ujarnya, Singapura membutuhkan abu yang dihasilkan dari pembakaran sampah untuk mereklamasi pantainya.

Singapura, ujarnya, juga memiliki dana cukup untuk membeli empat incinerator mengatasi sampahnya.

"Incinerator untuk kapasitas 3.000 ton per hari plus `energy recovery` sebesar 20 MW makan biaya sekitar Rp4,3 triliun, seperti halnya di Tuas Singapura," tegasnya.

Sedangkan Pemprov DKI Jakarta, ia mencontohkan, maksimal hanya bisa membayar Rp103.000 per ton sampah.

"Padahal sampah Jakarta basah, sehingga agar stabil pembakarannya harus di atas 600 derajat Celcius, dan perlu tambahan solar sekitar 50 liter per ton sampah dikalikan Rp4.500 berarti Rp225.000, belum termasuk ongkos lain seperti listrik dan lainnya. Plafon Rp103.000 per ton tak cukup," katanya.

Indonesia yang masih memiliki lahan cukup luas, katanya, masih memiliki cara lain yang lebih sesuai yakni dengan membangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan sistem sanitary landfill yang bisa digunakan terus-menerus (reusable).

Menurut hitungan Henky, TPA dengan luas lahan lima hektare hanya membutuhkan sekitar Rp45 miliar dan menampung sampah 500 ribu ton selama 13 tahun seperti direncanakan di Bangli, Bali, kemudian bisa dilanjutkan untuk seterusnya.

"TPA ini hanya memerlukan biaya sekitar Rp80 ribu per ton sampah. Jadi kalau pemprov DKI mau bayar Rp103 ribu per ton, masih ada untung, ditambah lagi bisa menghasilkan lisrik dengan gas methane-nya dan dijual ke PLN Rp 700/KWh," katanya.

Dengan TPA generasi VI itu, ujar Henky, timbunan sampah ditutup tidak perlu dengan tanah karena mahal dan tak mudah mencarinya, melainkan ditutup dengan kompos yang lebih sesuai dengan iklim basah Indonesia.

Ia membantah bakal kesulitan mencari kompos, karena justru dengan kebutuhan akan kompos maka masyarakat bisa kembali bersemangat melakukan kegiatan 3R (reduce, reuse dan recycle) dan membuat kompos dari sampahnya.

"Selama ini kompos mereka tidak laku padahal harganya hanya Rp500 per kg. Dengan sistem ini Pemda yang akan membelinya," katanya sambil mencontohkan TPA Bantargebang sudah menghasilkan timbunan untuk kompos hingga 15 juta ton.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009