"Sistem pengendalian atas pengelolaan pinjaman LN yang berkaitan dengan realisasi pinjaman, monitoring rekening khusus, dan pencatatan barang milik negara (BMN) masih lemah," kata Ketua BPK Anwar Nasution, Selasa.
Anwar mengungkapkan hal itu dalam rapat paripurna DPR dengan agenda penyerahan ikhtisar hasil pemeriksaan semester II tahun anggaran 2008 kepada DPR.
Pada semester II 2008, BPK memeriksa berbagai hal termasuk Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas pengelolaan pinjaman LN.
Pemeriksaan dilakukan terhadap institusi pengelola pinjaman LN yakni Departemen Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, dan pengguna pinjaman LN yang terdiri dari 9 K/L serta 8 BUMN yang mencakup 66 naskah pinjaman senilai Rp45,29 triliun.
Menurut BPK, prosedur perencanaan dan penarikan pinjaman yang telah dirancang tidak berjalan efektif.
Klausul mengenai biaya asuransi, biaya komitmen, dan biaya jasa bank penatausahaan yang dipersyaratkan dalam naskah perjanjian menambah beban keuangan negara minimal senilai Rp36 miliar.
Lemahnya perencanaan, koordinasi, dan monitoring mengakibatkan beberapa hasil proyek dengan pinjaman LN senilai Rp438 miliar tidak dapat dimanfaatkan optimal, serta adanya tambahan biaya minimal senilai Rp2 triliun terkait keterlambatan pelaksanaan proyek.
Hasil pemeriksaan BPK yang perlu mendapat perhatian serius dari entitas terkait adalah sistem pencatatan pinjaman LN yang belum menghasilkan informasi mengenai pinjaman LN secara andal.
Akibatnya tidak ada sumber informasi mengenai posisi dan penarikan pinjaman yang dapat digunakan pemerintah Indonesia dalam pengambilan keputusan secara meyakinkan. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009