"Laporan yang saya terima, tanpa `black-box` (kotak hitam)," kata Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Tatang Kurniadi kepada pers di Jakarta, Senin.
Oleh karena itu, meski dalam proses penyelidikan nantinya tanpa bantuan kotak hitam, katanya, hal itu akan terus dilakukan dengan menggunakan bantuan atau pendekatan lainnya.
"Misalnya dengan analisis pohon kesalahan. Itu bisa dilakukan," katanya.
Tatang memperkirakan, laporan awal hasil penyelidikan terhadap penyebab kecelakaan dan rekomendasinya akan diselesaikan sekitar sebulan setelah kejadian kecelakaan tersebut.
Tatang, menyebutkan, ketiadaan kotak hitam ini, menjadi janggal karena pesawat itu ternyata bukan untuk kepentingan khusus seperti pesawat-pesawat militer, tetapi untuk kepentingan umum seperti mengangkut penumpang.
"Pendekatannya selama ini, jika untuk kepentingan transportasi publik, kotak hitam biasanya ada karena ketentuannya, jika terjadi kecelakaan, hal serupa agar tidak terjadi pada penerbangan sejenis," katanya.
Namun, saat ditanya apakah dalam regulasinya pesawat kecil untuk kepentingan umum atau publik memang tidak ada? Tatang mengaku belum mengecek hal itu. "Saya belum cek," katanya.
Biasanya, kondisi di lapangan, pesawat kecil seperti Pilatus PC-6 itu bisa saja dilengkapi kotak hitam dan perangkat navigasi lainnya, jika dipesan oleh pembelinya.
"Persoalannya, si pengusaha mau tidak, pesawatnya menjadi lebih mahal?," katanya.
Pesawat Mimika Air yang membawa delapan orang penumpang, termasuk seorang bayi serta membawa berita acara hasil Pemilu itu, sebelumnya diakui Menhub Jusman Syafii Djamal baru berusia satu tahun, dirakit pada Februari 2008 di Swiss dan dibeli Pemda Mimika seharga Rp25 miliar.
Kemudian, diregistrasi pertama kali di Indonesia sejak 18 September 2008 atas nama Mimika Air dengan nomor pendaftaran 2512 dan registrasi PK-LTJ serta sudah mengantongi 542 jam terbang.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009