Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bukti fotokopi kuitansi pembelian apartemen oleh keluarga Nurhadi yang diserahkan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) sebagai tambahan data dalam penyidikan kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Nurhadi.

"KPK berterima kasih atas setiap informasi dari masyarakat, termasuk dari Koordinator MAKI (Boyamin Saiman). Informasi tersebut tentunya akan menjadi tambahan data yang sudah kami miliki terkait dengan perkara ini," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Saat ini, kata dia, KPK terus menyelesaikan berkas perkara dan terus mengejar untuk menangkap tersangka Nurhadi dan kawan-kawan yang menjadi buronan tersebut.

"Saat ini, kami fokus terlebih dahulu melengkapi berkas perkara untuk pembuktian pasal-pasal yang dipersangkakan saat ini," ucap Ali.

Menurut dia, tidak lepas dari kemungkinan kasus yang menjerat Nurhadi tersebut dikembangkan ke pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, baik saat penyidikan maupun fakta-fakta dipersidangan nantinya.

KPK pun, kata dia, tetap mengimbau dan mengharapkan partisipasi masyarakat apabila menemukan keberadaan tersangka Nurhadi dan kawan-kawan untuk segera melaporkan kepada KPK melalui call center 198.

Baca juga: MAKI serahkan bukti pembelian apartemen keluarga Nurhadi ke KPK

Sebelumnya, MAKI telah menyerahkan kepada KPK bukti fotokopi tiga kuitansi diduga pembelian apartemen oleh keluarga mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.

"MAKI telah mendapat fotokopi tiga kuitansi pembayaran cicilan unit apartemen District 8 Jalan Senopati 8 Jakarta Selatan oleh Tin Zuraida, istri tersangka Nurhadi," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.

Adapun nominal dari masing-masing kuitansi tersebut, yakni Rp250 juta, RP112,5 juta, dan Rp114.584.000.

Boyamin mengatakan bahwa fotokopi kuitansi tersebut telah disampaikan kepada KPK melalui surat elektronik (e-mail) pengaduan masyarakat KPK.

"Kami tetap berharap KPK menerapkan pasal pencucian uang berdasar dokumen tersebut karena nilai transaksi cicilan 1 bulan saja adalah sangat besar, yaitu ratusan juta dan sistem pembayaran tunai sehingga diduga bukan dari pengasilan resmi keluarga PNS," ujarnya.

KPK pada tanggal 16 Desember 2019 telah menetapkan Nurhadi (NHD) bersama Rezky Herbiyono (RHE), swasta atau menantunya dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto (HS) sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016.

Ketiganya pun telah dimasukkan dalam status DPO sejak 11 Februari 2020.

Baca juga: KPK konfirmasi pengacara perihal praperadilan yang diajukan Nurhadi

Baca juga: KPK panggil dua pengacara terkait kasus Nurhadi

Berbagai upaya pencarian yang dilakukan KPK untuk menangkap tiga tersangka itu belum berhasil mulai melakukan penggeledahan di Surabaya, Tulungagung, Jakarta, sampai Bogor.

Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020