Dari tahun ke tahun nasib tenaga kerja wanita Indonesia yang mencari nafkah sebagai pembantu di kawasan Teluk atau khususnya di Persatuan Emirat Arab (PEA) belum mengalami perubahan, tak seberuntung tenaga kerja Indonesia yang bekerja sebagai profesional.

Cerita duka yang dialami para wanita yang bekerja sebagai pembantu itu masih seperti yang dulu, seakan-akan tak ada ujung penyelesaiannya.

Cerita itu, misalnya, direkam Sekarningrum (30), perempuan asal Bandung, Jawa Barat, dalam dua karikatur bertema "Crisis" dan "Derita".

Sekarningrum membuat karikatur itu saat ia di tampung di sebuah gedung yang bersebelahan dengan KBRI Abu Dhabi. Dia ditampung di sana setelah kabur dari rumah majikan karena tak tahan mendapat teror.

Dalam karikatur "Crisis", Ningrum menggambar sebuah eskavator, sebagai lambang pengirim tenaga kerja (PJTKI), yang menumpahkan tenaga kerja ke PEA, sebuah tempat bagi yang tak beruntung.

Dalam karikatur "Derita", perempuan yang ingin menjadi pengasuh bayi itu menggambarkan nasib perempuan Indonesia di cengkeraman "Madam Zalim" berwajah singa, dengan sosok-sosok suami takut istri dan majikan sibuk.

Hampir 100 orang perempuan Indonesia telah berbulan-bulan di tempat penampungan itu.

Keadaan serupa juga terdapat di penampungan KJRI Dubai atau di negara-negara lain di Teluk: Arab Saudi, Oman, Qatar, Bahrain, dan Kuwait.

Rata-rata mereka kabur dari tempat tinggal tuannya karena tak tahan diteror atau disiksa. Kini mereka menanti saat-saat kembali ke kampung halaman di Tanah Air tanpa kepastian dan tanpa se sen pun hasil jerih payah mereka.

Lebih 30 perempuan Indonesia masuk bui di Abu Dhabi karena ulah mereka melakukan pelanggaran ringan.

Para perempuan yang datang ke PEA itu pada umumnya dijanjikan memperoleh gaji 700 dirham (Rp2,1 juta) sebulan.

Untuk menampung para perempuan yang mendapat masalah hukum di luar negeri itu, pemerintah menyewa gedung-gedung tempat penampungan itu dan memberi makan mereka.

"Indonesia bersama Bangladesh, Nepal, Somalia, Sudan dan Ethiopia termasuk pengirim tenaga pembantu ke PEA terbanyak," kata Duta Besar M Wahid Supriyadi, baru-baru ini.

Menurut dia, Vietnam melarang pengiriman tenaga kerja wanita untuk jadi pembantu dan India memberlakukan aturan secara selektif.

"Saat ini jumlah tenaga kerja Indonesia yang tidak memiliki keterampilan mencapai 75 persen. Kita harus membalik dengan lebih banyak mengirim tenaga yang memiliki keterampilan dan profesional seperti Filipina," kata Supriyadi.

Supriyadi, yang mantan Konsul Jenderal RI di Melbourne, Australia, menduga banyak pihak yang mempunyai kepentingan dengan mengirim tenaga kerja yang tak memiliki keterampilan sehingga masalah yang dialami tenaga kerja Indonesia itu terus berulang.

Menurut Supriyadi, selalu saja ada kasus baru yang harus ditangani, satu masalah selesai, masalah baru muncul kembali.

Kasus terbaru yang masuk ke KBRI terjadi minggu lalu ketika staf konsuler sibuk menangani seorang pembantu yang kabur dari rumah majikannya.

Perempuan itu sakit pada bagian kemaluannya karena telah diperkosa tiga pria tak dikenal. Polisi setempat terus mencari pelaku kejahatan itu.

Beruntung

Dubes Supriyadi yang menerapkan people to people diplomacy dalam tugasnya mengatakan, cerita tentang tenaga kerja Indonesia di PEA bukan melulu tentang tenaga kerja wanita yang tidak beruntung.

Banyak juga cerita tentang mereka yang beruntung.

Berbicara soal peluang kerja di sektor formal, ia merujuk kepada peluang bekerja di sejumlah perusahaan di negeri itu, seperti Borouge, Gasco, Takreer, rumah sakit, perhotelan, dan perkapalan di kawasan Ruwais, 250 kilometer dari Abu Dhabi.

Kawasan itu terbuka luas bagi pekerja profesional Indonesia karena perusahaan-perusahaan tersebut terkesan dengan keandalan mereka.

Sejumlah profesional dari Indonesia yang tergabung dalam organisasi Indo-Emirates Ruwais menyampaikan cerita-cerita sukses mereka memasuki bursa tenaga kerja di negara itu.

Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki rencana pengembangan dan penambahan kapasitas produksi pada masa depan dan kebutuhan mereka akan tenaga profesional cukup banyak, kata Ketua Indo-Emirates Ruwais Heri Susyanto.

Menurut Heri, para profesional Indonesia yang memiliki latar belakang dan pengalaman di bidang petrokimia mempunyai peluang besar untuk bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.

Ali Akbar, yang berprofesi sebagai insinyur mesin di Takreer, mengakui perusahaan penyulingan minyak tempatnya bekerja terkesan dengan keandalan dirinya dan menyatakan ketertarikan untuk merekrut lebih banyak lagi profesional dari Indonesia.

"Saya boleh dibilang duta besar karena satu-satunya profesional asal Indonesia yang bekerja di Takreer," ujarnya.

Namun, para pengurus paguyuban itu yang bergaji antara 8.000 dirham dan 15.000 dirham, menambahkan perusahaan-perusahaan tersebut lebih berminat merekrut profesional yang berpengalaman sedikitnya setahun daripada mereka yang baru selesai dari perguruan tinggi.

Data yang dikeluarkan Indo-Emirates Ruwais per 1 Januari 2009 menyebutkan sebanyak 176 profesional Indonesia mencari nafkah di sedikitnya tujuh perusahaan, terbanyak di Borouge (66 persen), Gasco (18 persen) dan Danat Hotel (8 persen).

Sejumlah profesional bekerja sebagai tenaga medis di rumah sakit dan klinik, layanan ambulans darurat, hotel, dan perkapalan.

Sejumlah profesional Indonesia mulai "menyodok" posisi di lapis tengah seperti manajer di tujuh perusahaan tersebut. Namun, porsi terbanyak masih di posisi operator dan teknisi setelah supervisor.

Profesional Indonesia yang bekerja di Borouge berada di posisi kedua dalam jumlah setelah warga PEA.

"Soal keandalan profesional Indonesia tak dapat diragukan lagi," kata Made, yang juga bekerja di Borouge sebagai pelatih dan perekrut tenaga kerja.

Menurut dia, para profesional Indonesia masih harus meningkatkan kemampuan mereka dalam berbahasa Inggris sebagai bahasa pengantar karena profesional India memiliki kemampuan di atas rata-rata profesional Indonesia.

Ketika rapat misalnya, kata Made, profesional India mampu mengemukakan pendapat dan pandangannya yang meyakinkan manajemen. Tapi dalam hal bekerja, keandalan, tanggung jawab, dan dedikasi profesional Indonesia mendapat pengakuan perusahaan.

"Jika memungkinkan saya akan terus bekerja di sini," kata Heri.

Tapi, Dadang S, yang juga bekerja di Borouge, telah membuat rencana untuk masa depannya dalam bentuk lain.

Ia akan berhenti bekerja di Borouge hingga usia 45 tahun dan telah membuat usaha penjualan motor dan kambing di kampung halamannya di Cikalong, Jawa Barat.

"Adik dan istri saya mengelola usaha tersebut dengan modal dari simpanan selama delapan tahun bekerja di Borouge," ujarnya.

Namun, bagi para pekerja, walaupun merasakan enaknya bekerja di luar negeri, mereka tetap berharap dapat bekerja di dalam negeri.

Untuk itu, mereka berharap setelah pemilihan anggota dewan perwakilan dan pemilihan presiden, para pemimpin RI mampu memperbaiki perekonomian di dalam negeri dan meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan lapangan pekerjaan.

"Kami ke sini mau cari nafkah untuk modal usaha sablon. Kalau di dalam negeri cukup tersedia dan mudah, mengapa harus ke sini?" kata Ningrum, perempuan yang berbakat di bidang seni. (*)

Oleh Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009