Jakarta (ANTARA News) - Peta politik tampaknya mulai berubah dengan cepat, menyusul pengumuman hasil pemilu legislatif berdasarkan penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei, yang menempatkan Partai Demokrat sebagai pemenang mengungguli Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Terkait dengan perubahan itu, muncul pertanyaan, mungkinkah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) kembali berduet memimpin Indonesia untuk periode 2009-2014?
Pertanyaan itu terasa menggelitik, mengingat sebelum pemilu, Wakil Presiden JK sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar menyatakan niatnya menjadi calon presiden dari Partai Golkar, bersaing `head to head` dengan SBY, yang juga sudah menyatakan pencalonan dirinya untuk kembali menjadi Presiden RI melalui Partai Demorat.
Partai Golkar bahkan melirik PDIP dalam upaya menuju kursi RI-1 sebagaimana digagas Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Surya Paloh. Namun, dengan posisi Partai Golkar yang memperoleh suara sementara 14,38 persen, berada di bawah Partai Demokrat di 20,28 persen, tampaknya niat tersebut mulai surut.
Meskipun sampai kini belum ada keterangan resmi tentang kemungkinan lanjut tidaknya `dwi tunggal` SBY-JK untuk periode kedua, namun tanda-tanda ke arah sana mulai terlihat.
Presiden SBY telah menyampaikan kepada publik bahwa ia akan tetap mempertahankan koalisi sebagaimana telah dijalani pasca-Pemilu 2004, namun kali ini dengan kontrak politik yang jelas.
JK tampaknya juga menyadari menjadi wapres adalah pilihan yang paling memungkinkan saat ini. Sebuah pertemuan antara SBY-JK juga sudah diadakan beberapa hari yang lalu.
Hampir lima tahun yang lalu, SBY dengan dukungan Partai Demokrat yang baru lahir, ketika itu hanya mencapai perolehan suara 7,5 persen, jauh di bawah perolehan Partai Golkar yang menjadi pemenang dengan 22 persen suara, membangun koalisi dengan berbagai partai politik.
Namun, koalisi itu tampaknya tidak terlalu kuat. Hal ini terlihat dari dengan sikap ambigu sejumlah partai peserta koalisi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kali ini kondisinya berbeda. Dengan kemenangan pada Pemilu Legislatif ini, posisi SBY kini menjadi lebih kuat, dibanding 2004.
Parlemen juga akan diwarnai lebih banyak anggota Demokrat. Posisi tawar Partai Demokrat menjadi lebih tinggi, dan bisa menentukan dengan siapa mereka bakal berkoalisi.
Kawan-kawan Demokrat semakin jelas dengan kecenderungan sejumlah partai yang kini mendekat ke sana. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan perolehan sementara 8,37 persen, sejak sebelum Pemilu 9 April berlangsung, sudah memperlihatkan dukungannya pada SBY.
Partai Amanat Nasional (PAN), dengan suara sementara 6,6 persen, diberitakan juga bergabung dalam koalisi Demokrat, setelah Ketua MPP PAN, Amien Rais, bertemu SBY dan menyatakan partai yang ia dirikan itu mendukung pencalonan SBY sebagai presiden.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan perolehan suara sementara 5,37 persen, kecenderungannya juga mengarah ke koalisi Demokrat. Partai lainnya `tinggal menghitung hari` sebelum secara resmi berkoalisi dengan Partai Demokrat.
Koalisi Partai Demokrat, dengan PKS, dan PAN, diprediski cukup kuat mengantarkan SBY ke tangga pencalonan wakil presiden, sebab sudah melampaui 25 persen suara, sebagaimana diisyaratkan undang-undang.
Kekuatannya akan semakin dahsyat bila koalisi itu diperkuat Partai Golkar yang memiliki 14 persen suara. Dengan kekuatan sebesar itu, tampaknya peluang SBY untuk kembali memimpin bangsa Indonesia diperkirakan tetap lebih besar, dibanding kandidat lainnya.
Memilih Pasangan
Memang, pemilihan umum presiden dan wakil presiden masih tiga bulan lagi, namun sejak sekarang peta pertarungan mengisi kursi jabatan tersebut sudah ramai dibahas. Nama-nama calon seperti SBY, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X, Wiranto, Prabowo Subianto, silih berganti menjadi pembicaran.
Tetapi, dengan hasil Pemilu 9 April, maka peluang menuju ke kursi pertarungan tampaknya semakin mengerucut antara SBY versus Megawati Soekarnoputri.
PDIP dengan perolehan suara sementara 14,32 persen, dan sejak dulu sudah menyatakan Megawati sebagai calon presidennya, juga menggalang koalisi dengan partai lain.
Sejauh ini dari pemberitaan media, dua partai sudah menjajaki koalisi dengan PDIP yakni Partai Gerindra (4,45 persen suara) melalui tokohnya, Prabowo Subianto, dan Partai Hanura (3,55 persen) yang dikomandoi Wiranto. Siapa calon wapres yang akan mendampingi Megawati sampai sekarang masih merupakan teka-teki.
Sama seperti Megawati, SBY sejauh ini belum menetapkan siapa yang akan dia pilih sebagai calon wapresnnya. Sejumlah kalangan masih menaruh harapan agar pasangan SBY dalam pilpres mendatang adalah tetap JK. Pasangan SBY-JK sesungguhnya adalah pasangan yang serasi. Kombinasi kepemimpinannya sudah terbukti dalam hampir lima tahun pemerintahan.
Mereka bahu-membahu mengatasi berbagai persoalan bangsa. Selain itu, peluang SBY untuk mengalahkan JK, bila memang JK tetap maju sebagai calon presiden, diduga lebih besar, mengingat popularitas SBY yang memang jauh lebih tinggi dibanding JK.
Meskipun Partai Golkar saat ini untuk sementara berada pada posisi nomor dua, tetapi JK melalui komunikasi politik yang disampaikannya sudah mengisyaratkan bahwa pencalonannya untuk menduduki kursi presiden, tidak akan diteruskan.
Memang, pilihan yang paling mungkin saat ini bagi JK adalah kembali bergabung dengan SBY sebagai cawapres untuk pemilu presiden/wakil presiden tahun ini. Persoalannya, apakah SBY bisa menerima kembali JK yang terlanjur menyatakan diri akan bersaing melawan SBY?
Salah seorang anggota Dewan Pakar DPP Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, mengatakan pasangan SBY-JK masih dimungkinkan, artinya peluang JK untuk menjadi wapres tetap terbuka.
Namun, seperti disampaikan Sutan, keinginan menjadikan JK sebagai cawapres harus berasal dari keputusan Partai Golkar, artinya siapa pun yang akan diusung Partai Golkar sebagai cawapres mendampingi SBY tidak akan jadi masalah bagi kubu Partai Demokrat.
Pencalonan cawapres dari Partai Golkar untuk disandingkan dengan SBY, bila nanti itu betul-betul terjadi, adalah fenomena wajar. Tidak seperti pada 2004, di mana saat itu JK menjadi cawapres pasangan SBY bukan dicalonkan Partai Golkar. Masalahnya sekarang adalah, apakah Partai Golkar hanya mengusulkan satu nama saja untuk bakal calon wapres?
Adalah menarik untuk dipikirkan bila ada tiga atau empat nama yang diusung Partai Golkar sebagai calon wapres, guna disandingkan dengan SBY. Bukankah Partai Golkar memiliki sejumlah tokoh nasional sekaliber Jusuf Kalla?
Di sana ada nama-nama seperti Akbar Tanjung, Surya Paloh, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Nama-nama itu tentu saja layak mendampingi untuk diusulkan Partai Golkar ke SBY sebagai wapres, di samping JK sendiri.
SBY memiliki hak penuh untuk memilih siapa calon pendampingnya sebagai wakil presiden. Bila ada tiga atau empat nama yang diajukan Partai Golkar, tentu saja SBY berhak memilih salah satunya. Bila hanya satu nama yang diajukan, maka tidak ada pilihan bagi SBY, selain menerima atau menolaknya.
Persoalannya kemudian, apakah mereka yang tidak dipilih SBY akan kehilangan muka? Di sinilah perlunya sikap negarawan dari seorang calon wakil presiden maupun calon presiden.
Tidak ada yang hilang bila seseorang tidak menjadi wapres ataupun presiden, sebab yang diuntungkan adalah tetap semua rakyat Indonesia.(*)
Oleh Oleh Rajab Ritonga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009
Rakyat selalu dapat apesnya doang!