Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengizinkan Komisaris Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Hartono Tanoesoedibyo untuk berobat ke Singapura meski status cegahnya ke luar negeri masih berlaku.
"Akan kita izinkan permintaan berobat," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy di Jakarta, Rabu.
Kejagung pada akhir Desember 2008, mengeluarkan status cegah kepada Hartono Tanoesoedibyo terkait kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkumham yang merugikan keuangan negara sebesar Rp420 miliar.
Ia mengakui status Hartono Tanoesoedibyo masih dicekal, namun dirinya hanya dalam status saksi saja. "Dia masih dicekal, hanya dalam status saksi," katanya.
Jampidsus mengakui pada Rabu (15/4), Hartono Tanoesoedibyo datang ke Gedung Bundar Kejaksaan, guna menandatangani Berkas Acara Perkara (BAP) tersangka kasus Sisminbakum yang juga menjabat Direktur Utama (Dirut) PT SRD, Yohannes Woworuntu.
"Benar Hartono datang, menurut penyidik menandatangani berita acara dan mau minta izin berobat ke Singapura," katanya.
Sebelumnya penyidik kejaksaan sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus tersebut, yakni, Romli Atmasasmita dan Zulkarnain Yunus (mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU)), Yohannes Woworuntu (Dirut PT SRD), Syamsuddin Manan Sinaga (Dirjen AHU), dan Ali Amran Jannah (mantan Ketua Koperasi Depkumham).
Kasus itu bermula pada tahun 2001, saat Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Ditjen AHU, telah diberlakukan dan dapat diakses melalui website www.sisminbakum.com.
Dalam website itu telah ditetapkan biaya akses fee dan biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Biaya akses fee itu dikenakan untuk pelayanan jasa pemerintah berupa pemesanan nama perusahaan, pendirian dan perubahan badan hukum dan sebagainya.
Namun biaya akses fee itu tidak masuk ke rekening kas negara melainkan masuk ke rekening PT SRD dan dana tersebut dimanfaatkan oleh oknum pejabat Depkumham.
Permohonan per hari melalui sisminbakum yang dilakukan notaris seluruh Indonesia, adalah, kurang lebih 200 permohonan dengan biaya minimal Rp1.350.000 dengan pemasukan per bulan sebelum 2007 sekitar Rp5 miliar dan setelah 2007 sekitar Rp9 miliar. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009