Terjadinya dua blok ini tidak didasarkan pada pengusungan siapa yang akan menjadi presiden, yang kemudian dikenal dengan istilah Blok S, Blok M dan seterusnya.
Munculnya polarisasi karena penyelenggaraan Pemilu 2009 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ada pun blok yang muncul adalah blok yang menganggap dalam Pemilu terjadi banyak permasalahan, bahkan kecurangan. Paling tidak ada tiga kategori permasalahan yaitu masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), masalah distribusi logistik serta kecurangan dan kesalahan administrasi.
Dalam blok ini yang bertemu di kediaman mantan Presiden Megawati Soekarnoputri , ada yang mewakili partai, namun ada pula yang atas nama pribadi.
Secara kepartaian, paling tidak ada tiga partai yang masuk 10 besar berdasarkan hasil quick count lembaga survei atau real count sementara KPU.
Ketiga partai tersebut yang diwakili oleh para petingginya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Gerindra dan Hanura. Disamping itu ada sejumlah partai yang tidak mendapat suara secara signifikan.
Dalam konferensi pers, blok ini menyampaikan pernyataan sikap mereka di depan para wartawan. Pernyataan sikap ini intinya adalah Pemilu 2009 merupakan Pemilu terburuk sejak reformasi dan pelaksanaannya jauh dari sikap yang jujur, bermartabat, adil dan demokratis.
Oleh karena itu, blok ini akan membawa ke proses hukum berbagai permasalahan yang ditemui dalam penyelenggaraan Pemilu.
Sementara itu blok lain adalah blok yang meski mencatat berbagai permasalahan dalam pelaksanaan Pemilu namun menerima hasilnya.
Ada paling tidak empat partai dari partai yang masuk 10 besar berdasarkan hasil quick count lembaga survei atau real count sementara KPU yang masuk dalam blok ini. Mereka adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Suara dari blok ini paling tidak tertampung pada pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai memimpin rapat kabinet terbatas Selasa (13/4). Presiden meminta agar KPU bertanggung jawab atas segala kekisruhan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu dan bagi mereka yang tidak puas agar menggunakan saluran hukum yang tersedia.
Menahan Diri
Polarisasi dua blok pasca Pemilu harus diwaspadai oleh semua pihak, termasuk para tokoh politik dan pimpinan partai, pemerintah, penyelenggara Pemilu, bahkan para aparat penegak hukum.
Bila tidak diwaspadai polarisasi dua blok di tingkat elit akan mendorong masyarakat untuk turut terbelah. Bangsa ini tentu sangat tidak mengharapkan apa yang terjadi di Bangkok dalam beberapa waktu terakhir ini.
Di Bangkok , dunia menyaksikan berbagai peristiwa akibat terbelahnya masyarakat menjadi dua blok antara kaos merah dan kaos kuning.
Kaos merah saat ini melakukan upaya untuk dapat menurunkan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Upaya ini dilakukan secara anarkis, menggunakan kekerasan dan melawan aparat.
Tindakan kaos merah merupakan reaksi terhadap tindakan kaos kuning tahun lalu yang ditandai dengan penguasaan Bandar Udara Suvarnabhumi di Bangkok. Kaos kuning berhasil membuat Perdana Menteri ketika itu , Somchai Wongsawat tidak dapat menjalankan pemerintahan secara efektif.
Kita bersyukur bahwa dalam pernyataan dua blok pasca Pemilu 2009 para elit politik baik yang menerima maupun cenderung menolak hasil Pemilu sama-sama mengedepankan penyelesaian melalui saluran hukum.
Bangsa dan masyarakat Indonesia memang tidak seharusnya menerima beban sebagai akibat adanya polarisasi yang mengabaikan hukum. Bangsa ini sudah banyak mengalami penderitaan akibat polarisasi ditingkat elit yang diterjemahkan dengan penggunaan kekerasan.
Disinilah pentingnya para elit politik dan pemerintahan untuk menahan diri menggunakan kekerasan dalam menindaklanjuti
ketidakpuasan maupun responsnya. Mereka wajib untuk menghindari penggunaan kekerasaan dan upaya membawa negeri ini ke jurang kekacauan.
Dalam menegakkan demokrasi , tidak ada ruang yang membenarkan penggunaan kekerasan meski yang diusungnya adalah benar. Hukum merupakan satu-satunya upaya dalam penyelesaian berbagai masalah.
Dalam konteks inilah, aparat penegak hukum serta lembaga yang menjadi saluran hukum harus menunjukkan kesigapannya.
Kesigapan
Kesigapan aparat penegak hukum berikut lembaga yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan hasil Pemilu tercermin dalam tiga hal. Pertama, netralitas dalam penanganan permasalahan Pemilu. Kedua, berani berbuat dan mengambil keputusan yang didasarkan pada argumentasi yang kuat. Terakhir, selalu melandaskan diri pada rel aturan dalam pelaksanaan tugasnya.
Berdasarkan kesigapan tersebut, para aparat dan lembaga penegak hukum wajib menindaklanjuti setiap pengaduan dan permasalahan yang ada, sekecil apa pun.
Semua pihak harus sadar bahwa aparat penegak hukum berikut lembaga yang menangani Pemilu memiliki peran penting dalam menyikapi polarisasi yang terjadi.
Peran mereka dapat meredam polarisasi tapi di saat bersamaan, bila tidak sigap, justru menjadi pemicu penguatan polarisasi yang berujung pada anarkisme seperti di Bangkok.
Oleh karena itu, demi rakyat semua menghendaki agar aparat dan lembaga yang terkait dengan Pemilu menjalankan tugasnya secara netral, profesional dan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Rakyat pasti akan mendukung aparat dan lembaga hukum yang demikian.(*)
Penulis adalah ahli hukum internasional dan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia .
Oleh oleh Prof. Dr. Hikmahanto Juwa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009