Jakarta (ANTARA News) - Hasil sementara penghitungan suara pemilihan anggota dewan perwakilan membuat Partai Golkar seakan tiarap.

Perolehan suara partai itu kalah jauh dari Partai Demokrat. Setidaknya, demikian yang ditampilkan oleh penghitungan cepat.

Menanggapi hasil tersebut, suara partai berlambang pohon beringin itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu yang tetap menjadikan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan yang mulai meragukan langkah itu.

Kelompok pertama di internal partai tetap menginginkan Jusuf Kalla konsisten pada cita-citanya untuk maju sebagai calon presiden sebagaimana diusung Slamet Effendy Yusuf dan kawan-kawan.

Slamet Effendy Yusuf (Ketua DPP Partai Golkar periode 1999-2004) menyatakan yakin bahwa Jusuf Kalla (JK) tak akan mencabut pernyataannya tentang pencalonan dirinya sebagai calon presiden.

"JK akan memegang teguh prinsip `sekali layar terkembang pantang surut kembali`," katanya.

Apalagi, katanya, JK sudah sepakat dengan PDIP dan PPP melalui "golden triangle".

Menurut dia, justru jika JK berubah pikiran dan ingin kembali menjadi wakilnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka hal ini bisa mengubah konstelasi politik.

"Kalau itu yang terjadi, maka sistem politik Indonesia tak akan terbentuk. Sebab semua hanya soal tawar-menawar, bukan lagi didasarkan sistem pembentukan karakter bangsa. Melainkan semata berdasarkan kepentingan kekuasaan atau `deal` tertentu," katanya.

Kelompok lainnya justru mau bicara secara realistis, bahwa tidak mungkin Golkar nekad mengajukan JK sebagai calon presiden, setelah mereka melihat perolehan suara Golkar kalah jauh dibandingkan Partai Demokrat.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, Partai Golkar memiliki kecenderungan kuat untuk tetap mempertahankan koalisinya dengan Partai Demokrat.

Menurut Agung Laksono, kecenderungan itu belum bisa ditetapkan sekarang dan masih menunggu hasil rapat pimpinan nasional khusus Partai Golkar yang akan diselenggarakan beberapa hari mendatang.

Agung yang juga Ketua DPR mengungkapkan, memang di Golkar juga masih ada kehendak agar Ketua Umum DPP Golkar Jusuf Kalla tetap maju sebagai calon presiden, berapa pun perolehan suara Partai Golkar.

"Dengan demikian, DPP Partai Golkar juga tidak akan mengambil sikap sebelum mendengar pendapat-pendapat dewan pimpinan daerah," katanya.

Ada kelompok lain yang menginginkan JK membenahi citra partai yang terpuruk habis dan kehilangan kepercayaan dari rakyat. Mereka minta Golkar secara legowo melepaskan diri dari bursa pemilihan presiden.

Paling tidak desakan itu muncul dari Wakil Ketua Dewan Pakar DPP Golkar Marzuki Darusman yang mengatakan perolehan suara Golkar yang merosot hingga 6-7 persen dibanding tahun 2004 harus dijadikan momentum oleh pengurus DPP Golkar untuk mengevaluasi kinerjanya, sebelum mengurusi soal pemilihan presiden.

"Sebab partai itu tidak hanya bertanggungjawab ke dalam, tapi juga ke rakyat atau publik," katanya.

Karena itu, kata dia, JK perlu memberikan keterangan kepada rakyat mengenai penurunan perolehan suara Golkar, agar rakyat tahu duduk perkara kebijakan partai yang sebenarnya.

Menurut Marzuki, Partai Demokrat juga ingin mengetahui Golkar menilai dirinya sendiri sebelum melakukan hubungan dengan partai lain termasuk berkoalisi dengan partai itu.

"Apa yang mau ditawarkan Golkar? Bentuk kerjasamanya seperti apa? Demokrat memiliki pilihan parpol banyak, sebab posisinya sebagai pemenang pemilu, sementara posisi Golkar sebagai faktor sekunder, " kata anggota komisi I DPR RI itu.

Karena itu, jika JK tiba-tiba menyatakan sebagai calon wakil presiden atau ingin berkoalisi dengan SBY, harus dicari alasan kuat untuk menawarkan dirinya.

Tidak cukup bagi JK hanya beralasan sebatas kesediaan dirinya, sebab semua pimpinan parpol juga ingin menjadi calon wakil presiden.

"Hendaknya JK menghadapi turunnya perolehan suara Golkar secara prihatin dan menangani partai yang terpuruk secara serius, baru mengurusi yang lainnya. Selain itu, JK harus menyikapi hasil pemilu secara kenegarawanan," ujarnya.

Marzuki juga meminta JK mempertangungjawabkan hasil pemilihan itu kepada partai.

"Dahulukan pertanggungjawaban daripada beranjak mengurusi luar," kata mantan Jaksa Agung itu.



Masihkah berpeluang?

Menurut pengamat politik Pusat kajian Politik UI Firman Noor, hasil penghitungan jelas berimplikasi bagi posisi JK untuk maju sebagai calon presiden.

Hasil pemilihan 9 April itu, kata Firman Noor, bukan menentukan komposisi keanggotaan badan legislatif, tetapi juga posisi tawar-menawar politik pada pemilihan presiden.

"Hasil pemilu 2009 yang jauh dari prediksi kalangan dekat JK jelas telah menyulitkan kiprah politik sang Wapres. Karena jika keputusan mantap untuk bercerai dengan SBY pra Pemilu 2009 dirasakan terlalu prematur dan bahkan merupakan blunder politik seorang JK," tulis Firman dalam artikel berjudul "Menimbang Langkah Politik JK selanjutnya".

Ini bisa diartikan, hasil pemilu yang kurang akomodatif buat Golkar amat menyulitkan JK untuk berdiri tegar melawan arus, yaitu tampil sebagai pesaing SBY dalam pemilihan presiden nanti.

Bisa saja akhirnya JK tetap bertahan dan kosisten dengan sikapnya semula sebagaimana diinginkan oleh faksi Slamet Effendy Jusuf.

Menurut Firman, bila JK menerima skenario ini bisa disebut sebagai skenario kepalang basah.

Bagi Firman, skenario ini tetap melanjutkan hasil keputusan kolektif Partai Golkar yang secara jelas mengijinkan JK untuk bertarung merebut kursi kepresidenan.

"Skenario kepalang basah" ini merupakan langkah berani yang layak ditempuh bagi JK untuk menunjukkan komitmen JK sebagai seseorang yang berniat baik dalam membuat perubahan melalui "tangannya sendiri".

Artinya agar bisa menang, JK jelas harus memanaskan mesin politiknya sedini mungkin sembari menjajaki secara taktis berbagai peluang koalisi dengan partai-partai kecil dan menengah.

Tetapi diingatkan bahwa kemungkinan JK berhasil untuk menjadi presiden amat kecil .

"Di atas kertas, skenario paling heroik ini memiliki kemungkinan berhasil yang relatif minim. Mengingat figur JK sendiri yang secara objektif harus diakui `kurang menjual` di mata khalayak untuk duduk dalam posisi presiden," ujarnya.

Belum lagi, adanya tekanan dari dalam internai Golkar yang menginginkan JK bertanggungjawab terhadap keterpurukan partai dan membenahi soliditas internal ketimbang maju dalam bursa capres dan cawapres.



SBY JK berat

Sekarang bila JK meninggalkan ambisinya menjadi calon presiden dan kembali ke SBY, itu akan menimbulkan persoalan, baik di internal Golkar maupun Partai demokrat.

Slamet Effendy mengakui, kecenderungan SBY untuk tetap menggandeng Golkar sangat kuat. Hal itu karena SBY tentunya ingin melakukan koalisi yang kuat untuk meneruskan pembangunan sekarang yang belum tuntas.

"Kesuksesan itu harus dituntaskan dalam periode kepengurusan Golkar yang akan datang. Untuk itu, SBY harus memperoleh dukungan DPR dengan cara menggaet Partai Golkar, terutama kepengurusan PG yang baru nanti," katanya.

Mengenai adanya desakan berbagai pihak untuk memasangkan duet SBY-AT (Akbar Tandjung), Slamet mengatakan, hal itu terjadi karena kader Golkar di daerah masih terkenang dengan kesuksesan Golkar yang digempur habis-habisan, diancam dibubarkan, kantornya dibakar saat kampanye tahun 1999 namun berhasil meraih peringkat kedua pemenang pemilu.

Bahkan hasil pemilu tahun 1999 jauh lebih baik dari perolehan pemilu tahun 2009. Lima tahun berikutnya, Golkar bahkan menjadi pemenang Pemilu 2004.

"Kesuksesan itu kian menguatkan kenangan pengurus dan kader Golkar di daerah kepada Akbar Tanjung. Sangat mungkin daerah akan membuka kembali peluang AT. Terlebih AT pada masa kampanye lalu juga diundang beberapa daerah," katanya.

Sementara itu ada "tekanan" dari PKS partai yang sejak lama berkoalisi dengan Partai demokrat .

"Kalau JK kembali ke SBY, PKS akan mempertimbangkan ulang dukungan ke SBY. Kenapa begitu, karena kami berpandangan susah membangun koalisi kalau setiap orang datang dan pergi sesuka hati," kata Sekjen DPP PKS Anis Matta. (*)

Oleh oleh Indiwan Seto Wahju Wibowo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009