Usai sudah pemilihan umum bagi calon anggota legislatif. Berbagai janji telah disampaikan bahkan diumbar untuk diperjuangkan. Dalam waktu dekat akan diselenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Janji pun akan diberikan.
Saat ini janji kampanye yang disampaikan oleh berbagai kandidat adalah yang berpihak pada rakyat dan populis. Sayangnya janji-janji tersebut sering tidak terukur dan kurang memperhatikan aspek implementasinya.
Salah satu janji yang kerap terdengar adalah pengakhiran sepihak kontrak-kontrak yang dibuat oleh pemerintah ataupun wakilnya dibidang sumber daya alam (SDA).
Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan eksploitasi pertambangan dan sumber daya mineral dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan perusahaan pertambangan baik dalam maupun luar negeri. Kerjasama ini dituangkan dalam Kontrak Karya.
Demikian pula di bidang minyak dan gas. kerjasama untuk mengeksploitasi ini dilakukan dengan sebuah kontrak yang dikenal salah satunya dengan nama "Production Sharing Contract" atau Kontrak Bagi Hasil.
Sebelum berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas pihak yang mewakili Negara adalah Pertamina. Pasca berlakunya UU Migas pihak yang mewakili adalah Badan Pelaksana Minyak dan Gas.
Kontrak-kontrak tersebut berlaku untuk jangka waktu yang relatif lama, sekitar 30 tahun. Ini dapat dipahami mengingat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang SDA membutuhkan dana yang tidak sedikit, di samping resiko yang harus ditanggung saat menemukan tempat yang menghasilkan SDA.
Kepentingan negara diwakili oleh pemerintah atau lembaga yang ditunjuk, namun dalam sebuah kontrak kedudukan negara sejajar dengan pihak yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi.
Negara memperoleh pendapatan dari kontrak berdasarkan royalti atau bagi hasil. Di samping itu negara juga mendapat porsi kepemilikan saham yang dalam jangka waktu tertentu negara atau pihak Indonesia yang ditunjuk dapat menguasai secara mayoritas.
Perolehan negara dari kegiatan eksploitasi SDA yang berada di luar kontrak adalah melalui pajak dan community development. Para pelaku usaha diwajibkan membayar pajak, terkadang pajak yang diberlakukan bukanlah rejim pajak yang umum berlaku.
Untuk community development maka pelaku usaha disyaratkan membangun berbagai fasilitas bagi penduduk sekitar, mulai dari sekolahan hingga berbagai sarana pelatihan untuk memberdayakan dan mengembangkan potensi individu.
Konsekuensi
Berbagai pihak kerap menuding para pelaku usaha eksplorasi dan eksploitasi SDA, terutama dari luar negeri, mendapat keuntungan berlimpah. Ini bila dibandingkan keuntungan yang didapat oleh negara maupun penduduk sekitar.
Bisa jadi memang demikian. Namun menjadi permasalahan apakah negara dapat mengakhiri kontrak-kontrak tersebut secara sepihak sebagaimana dijanjikan oleh beberapa calon presiden? Apakah para calon presiden yang mengusung janji ini telah memikirkan secara mendalam berbagai konsekuensinya?
Pembahasan atas pengakhiran secara sepihak kontrak SDA tidak dimaksudkan sebagai mendukung atau menolak slogan-slogan neo-liberal atau anti-asing. Pembahasan bertujuan untuk melihat secara realistis konsekuensi dari kebijakan yang hendak diambil.
Ada sejumlah konsekuensi yang harus dihadapi bila kebijakan pengakhiran secara sepihak terhadap kontrak SDA dilakukan. Pertama, apakah pengambil kebijakan telah memperhitungkan biaya yang harus ditanggung oleh negara bila pelaku usaha menggugat karena pengakhiran sepihak? Jumlah gugatan akan berjumlah besar karena meliputi tidak saja kerugian nyata (material loss), tetapi juga kerugian potensi atau kesempatan (potential or opportunity loss).
Dalam beberapa perkara dimana negara atau badan usaha milik negara menjadi pihak yang justru tidak bisa diperhitungkan adalah kerugian potensi atau kesempatan. Dalam kasus Karaha Bodas Company (KBC) melawan Pertamina, misalnya, kerugian nyata diperhitungkan sekitar 50 juta dolar AS. Namun arbitrase memutuskan KBC mendapat ganti rugi sebesar 261 juta dolar AS. Ini berarti kerugian potensi untuk jangka waktu hingga berakhirnya kontrak yang diberikan kurang lebih berjumlah 211 juta dolar AS.
Saluran bagi penyelesaian pengakhiran secara sepihak bagi pelaku usaha asing banyak dan tidak terbatas di Indonesia. Diantaranya digunakan forum luar negeri yang telah ditentukan dalam kontrak. Disamping itu ada juga forum yang berada di luar kontrak, seperti International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID).
Intinya pengakhiran sepihak kontrak SDA akan dianggap sebagai terjadinya cidera janji atau pemerintah melakukan nasionalisasi. Bila negara dianggap melakukan nasionalisasi maka menurut hukum internasional wajib membayar kerugian kepada para pelaku usaha atas dasar asas prompt (segera), adequate (sebanding), dan effective (ganti rugi berupa benda yang langsung bisa dinikmati).
Siapapun yang duduk sebagai Presiden dan memimpin pemerintahan tidak mungkin dapat menghindari proses beracara di ICSID. Hal ini terjadi karena Indonesia pada tahun 1968 telah meratifikasi perjanjian internasional yang disebut "Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and Nationals of other States".
Satu-satunya cara untuk terhindar dari beracara di depan ICSID adalah Indonesia mengundurkan diri dari perjanjian ini.
Kedua, pengusung kebijakan pengakhiran kontrak secara sepihak harus benar-benar memperhatikan kesiapan dan kemampuan pelaku usaha nasional untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA.
Di sini yang dibutuhkan tidak hanya kemampuan untuk menggali berbagai potensi tetapi juga memiliki jaringan luar negeri dalam memasarkan berbagai produk SDA.
Jangan sampai para pelaku usaha nasional berkolaborasi dalam berbagai bentuk dengan pelaku usaha asing. Bila demikian, maka tujuan diakhirinya secara sepihak tentu tidak akan tercapai. Ini hanya bermakna simbolis demi menyenangkan konstituen. Padahal harga yang harus dibayar sangat fantastis, termasuk jumlah kerugian yang harus dibayarkan oleh negara.
Ketiga, konsekuensi lain dari kebijakan ini adalah dampak iklim investasi Indonesia. Kemungkinan besar para investor non-SDA akan berpikir dua kali untuk melakukan investasi di Indonesia.
Mereka akan mengkhawatirkan kebijakan pemerintah yang dapat mengakhiri secara sepihak berbagai kontrak. Kesakralan kontrak (sanctity of contract) seolah diabaikan. Meski ada hukum dan jalur untuk menyelesaikan berbagai persoalan pengakhiran secara sepihak, namun proses ini dianggap panjang, melelahkan dan berbiaya besar.
Keempat, pengakhiran secara sepihak harus mempertimbangkan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional. Tekanan dilakukan karena para pelaku usaha asing akan mendapatkan perlindungan dari masing-masing negaranya. Disamping itu, negara-negara maju sendiri mempunyai kepentingan mengingat devisa yang diperoleh dari pelaku usahanya akan menurun drastis.
Adapun tekanan terhadap Indonesia dapat berupa insentif ataupun sanksi. Insentif yang diberikan dapat bermacam-macam diantaranya adalah pemberian kuota ekspor ataupun pemberian hibah. Sementara bentuk sanksi yang diberikan diantaranya adalah menunda pencairan atau tidak dikabulkannya utang luar negeri. Bila perekonomian Indonesia masih bergantung pada hutang luar negeri maka ini akan memunculkan masalah tersendiri.
Dari berbagai konsekuensi diatas, calon presiden pengusung pengakhiran secara sepihak kontrak SDA harus dapat berhitung dan mengukur. Bila pada akhirnya menguntungkan bagi rakyat Indonesia maka opsi ini bisa diambil. Satu hal yang tidak diharapkan, jika pengusungan kebijakan ini hanya untuk memperoleh kursi. Ketika telah duduk di kursi, maka mereka akan memperlakukan janji sebagai janji. (*)
*Penulis ahli hukum internasional dan mantan Dekan FHUI.
Oleh Oleh Prof. Hikmahanto Juwana S
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009