Jakarta, 13/4 (ANTARA) - Sidang ke-13 IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) yang telah dilaksanakan di Bali, tanggal 30 Maret s/d 3 April 2009 lalu, tampaknya terus melaksanakan berbagai upaya pembenahan pengolahan ikan di Samudera Hindia. Organisasi negara penangkap ikan tuna di kawasan tersebut yang beranggotakan 27 negara berstatus tetap (Contracting Parties) dan 3 negara pendukung (Corporating Parties) ini, pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan kerjasama memanfaatkan sumberdaya ikan tuna secara repat agar dapat berkelanjutan, dan melindungi keberadaan jenis-jenis biota yang patut dilindungi.
Jenis ikan yang menjadi perhatian untuk dibatasi agar lestari, terutama adalah big eye tuna, yellowfin tuna, dan sword fish. Memang stok ikan tersebut ada indikasi menurun, terlihat dari daerah tangkapan yang makin ke selatan, ukuran rata-rata yang semakin kecil, serta hook rate (tingkat jumlah umpan long-line yang dimangsa tuna) yang semakin berkembang. Adapun hasil tangkapan sampingan, baik yang insidental catch atau by-catch, adalah penyu laut (sea-turtle) sebagai biota yang sepakat untuk dilindungi, burung laut (sea-birds), dan ikan cucut atau hiu (shark). Langkah yang diambil meliputi penggunaan pancing bulat (circle hooks), pengaturan jenis umpan pada tuna long-line, dan diusulkan rasio sirip cucut (shark fining), yakni tidak boleh lebih dari 5% hasil tangkapan.
Dalam rangka pengendalian penangkapan tuna, keputusan yang dievaluasi pelaksanaannya meliputi kewajiban anggota melaporkan angka produksi, jumlah kapal yang resmi terdaftar, jumlah kapal yang aktif beroperasi, serta keberadaan kapal asing di pelabuhan perikanan. Dievaluasi pada pelaksanaan laporan re-ekspor tuna, transshipment armada skala besar, langkah-langkah pembatasan kapasitas penangkapan, serta rencana pengembangan armada.
Sidang kali ini telah menyepakati pelarangan penggunaan alat penangkapan drift gill-net yang panjangnya lebih dari 2,5 km, serta kewajiban anggota untuk melaporkan identitas kapal-kapal yang diduga melakukan IUU fishing.
Penerapan program pengamat (observasi) regional pada kapal yang panjangnya lebih dari 24 meter akan mulai dilaksanakan tahun 2010. Adapun bagi kapal yang kurang dari 24 meter hanya dilakukan program observer di pelabuhan, mulai tahun 2013. Penerapan Port State Measure juga masih menunggu penyelesaian skemanya yang sedang digodog di FAO, sangat didukung oleh sebagian besar anggota, karena banyak memberikan manfaat bagi nelayan skala kecil, yang armadanya mendominasi di Negara berkembang.
Hal-hal yang perlu ditindaklanjuti oleh kebanyakan anggota, termasuk Indonesia adalah mensosialisasikan hasil sidang, menyusun rencana pengembangan armada, peningkatan kualitas data dan pelaporan, serta penyusunan atau penyesuaian peraturan, disesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh IOTC, mengingat azas yang dianut adalah legally binding.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed, Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2009