Sudjadi menuturkan, hampir semua anggota aktif REI Jateng yang berjumlah sekitar 180 pengembang mengeluhkan merosotnya penjualan rumah tipe kecil dan menengah yang diklaim sejumlah pengembang lebih dari 50 persen.
Salah satu pengembang yang aktif berpameran hanya mampu menjual 12 unit rumah, padahal pada periode sama tahun 2008 pengembang bisa menjual 30-40 rumah tipe kecil.
Pengembang spesialis rumah kelas menengah, mengalami nasib serupa meskipun penurunannya tidak sedrastis tipe rumah kecil, kata Sudjadi yang juga Dirut PT Aji Saka.
Pada 2008, usai menggelar pameran sebulan penuh, satu pengembang berhasil meneken kontrak penjualan 25 unit rumah kelas menengah, namun pada periode sama angka itu turun menjadi 15 unit atau terpangkas 40 persen.
"Imbas krisis ekonomi global yang menyebabkan daya beli melemah, euforia Pemilu 2009, dan tidak kunjung menurunnya bunga bank menjadi penyebab utama merosotnya penjualan rumah," katanya.
Menurut dia, kondisi pasar perumahan tidak terlalu parah jika bank mau menurunkan bunga KPR hingga di bawah 10 persen dari tingkat sekarang yang mencapai 13-14 persen/tahun.
"BI `rate` (Sertifikat Bank Indonesia) terus menurun dan saat ini tinggal 7,5 persen, namun mengapa perbankan masih mematok bunga hingga 13-14 persen?" tanyanya.
Dalam kondisi pasar yang melesu seperti saat ini, perbankan semestinya ikut menggerakkan sektor riil dengan berani menurunkan bunga pinjaman hingga level ekonomis, bukan malah berdiam diri dengan mematok bunga tinggi.
"Perbankan sebenarnya cukup mengambil `spread` 2-2,5 persen dari BI `rate`. Bunga yang diterapkan perbankan saat ini terlalu tinggi dan sulit bisa menggerakkan sektor riil," katanya.
Dalam kondisi perekonomian yang melesu ditambah tingginya suku bunga tinggi, REI Jateng bakal kesulitan memenuhi pencapaian rencana produksi pada tahun 2009 sebanyak 8.000 rumah.
"Tahun 2008 saja realisasinya hanya 6.500 unit, padahal hingga semester pertama 2008 kondisi perekonomian masih bagus," katanya. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009