Jakarta (ANTARA News) - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV yang diterbitkan Gramedia telah diperbincangkan di berbagai forum, entah seminar atau ulasan di media massa.
Harapan untuk memperoleh kamus ekabahasa yang lebih sempurna dari edisi sebelumnya ternyata tak sepenuhnya terpenuhi.
Ada beberapa ketaktepatan dalam edisi baru ini, yang sebelumnya juga dikandung oleh edisi III, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Misalnya pada sublema "terpelajar" yang dimasukkan dalam kelas kata verba, padahal mestinya adalah "ajektiva".
Pengelompokkan kelas kata dalam tiap lema juga masih tak lengkap. Sebagai contoh, lema "tanpa", dalam edisi ini, dijelaskan hanya sebagai kelas kata adverbia. Seharusnya, lema ini juga masuk dalam partikel sebagai preposisi.
Ketidaklengkapan penandaan dalam kelas kata ini berakibat pada
pemahaman bahwa lema "tanpa" bisa ditulis dengan huruf awal kapital dalam penulisan judul berita di koran atau majalah. Hal ini akan berbeda jika lema itu juga dimasukkan dalam kelas kata preposisi, yang penulisannya dalam judul berita atau judul buku, harus ditulis dengan huruf awal kecil sebagaimana preposisi lain seperti "di", "ke", "dari", "pada", "untuk".
Yang menarik, pada terbitan terbaru ini ada informasi tambahan yang justru jadi tanda nyata bagi pengguna kamus. Itu antara lain terdapat pada lema "ketipung", sebagaimana pernah diulas Ketua Forum Bahasa Media Massa TD Asmadi di kolom bahasa harian "Kompas".
Asmadi bertanya-tanya bagaimana penyusun kamus ini bisa
mempertanggungjawabkan bahwa "ketipung" itu berasal dari Madura. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan Poerwadarminta dan KBBI III tak menyebut demikian. Sampai sekarang belum ada jawaban dari para penyusun kamus mengenai soal ini.
Hadirnya kamus dengan ketebalan mencapai sekitar 90.000 lema ini, dengan penambahan sekitar 12.000 lema dibanding edisi III, agaknya tak mengubah sikap media massa dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Sebagai contoh, kata "contreng" yang oleh kamus ini dikategorikan sebagai kata ragam percakapan, dengan demikian belum dianggap baku, yang mestinya ditulis dalam huruf miring, ternyata oleh dua media massa utama seperti "Tempo" dan "Kompas" sudah diterima sebagai kata baku.
Untunglah Komisi Pemilihan Umum (KPU), akhirnya memilih kata "centang" yang sudah baku sebagai ganti pemakaian lema "contreng" yang terlanjur populer karena ulah orang KPU sendiri.
Media Massa di Indonesia memang tak bisa diharap untuk patuh
sepenuhnya pada kaidah yang dipakai dalam KBBI IV. Sebagai contoh, dalam KBBI III, lema "perhati" diakui keberadaannya sehingga melahirkan turunannya "memerhatikan". Sejumlah media massa mengikuti kaidah ini.
Namun, pada edisi IV, lema "perhati" tetap ada namun dirujuk silang ke lema "hati".
Konsekwensi dari perubahan itu adalah tidak diakuinya lagi turunan "memerhatikan" dari lema "perhati". Yang dianggap baku adalah "memperhatikan" sebagai turunan dari lema "hati". Namun media massa yang sudah terlanjur menggunakan "memerhatikan" tak mau mengubahnya menjadi "memperhatikan" yang dianjurkan untuk digunakan dalam penulisan bahasa Indonesia baku.
Meskipun belum menjadi rujukan sepenuhnya oleh kalangan media massa, KBBI IV ini, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, menjadi sumber rujukan bagi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan penggunaan bahasa Indonesia.
Bambang berharap kamus ini menjadi pegangan utama pelajar dan mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan berekspresi dan berkomunikasi lisan maupun tulis.
"Demikian juga peneliti, penulis, penerjemah, wartawan dan masyarakat luas dapat memanfaatkan kamus ini demi meningkatkan pengetahuan dan wawasan bahasa Indonesia serta kemajuan peradaban bangsa Indonesia," katanya.
Yang mungkin tak bisa memenuhi harapan Mendiknas adalah kendala dari faktor mahalnya harga kamus ini untuk ukuran rata-rata pelajar dan mahasiswa. Dijual dengan harga Rp375.000,-, kamus ini dianggap masih cukup mahal. Seorang pengguna bahasa Indonesia mengeluhkan mahalnya harga kamus ini di milis guyubbahasa. Bagi dia, yang sudah memiliki edisi III, membeli kamus ini dengan harga di atas sama saja dengan membeli 12.000 lema.
Diusulkan, sebaiknya Pusat Bahasa tak perlu mencetak edisi baru, cukup menerbitkan tambahan lema baru yang 12.000 itu sehingga harganya terjangkau oleh publik.
Usul itu jelas akan dibantah karena edisi IV itu bukan sekadar penambahan lema tapi juga perbaikan dan perubahan pada sejumlah lema pada penerbitan sebelumnya.(*)
Oleh oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009