Sebagian tenaga kesehatan yang berjuang pun juga terlibat dalam eliminasi TBC
Jakarta (ANTARA) - Pasien penyakit tuberkulosis atau TBC harus lebih mewaspadai potensi penularan virus corona jenis baru COVID-19 karena dampak yang diakibatkan oleh virus tersebut akan lebih berbahaya dibandingkan dengan orang yang sehat.
"COVID-19 menyadarkan kita betapa rentannya jika pasien TBC tidak berobat, karena daya tahan tubuh dan kondisi paru mereka juga lebih rentan terinfeksi,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan dr. Wiendra Waworuntu dalam rangka Hari TB Sedunia melalui telekonferensi di Jakarta Selasa.
Wiendra menekankan untuk pasien TBC yang dalam masa pengobatan harus minum obat teratur dan tetap menjaga daya tahan tubuh.
Oleh sebab itu, peran komunitas sangat penting untuk mengingatkan pasien minum obat dalam skema pengobatan TBC, terutama bagi pasien TBC resistan obat (TBC RO).
“Kami sedang menyiapkan skema tersebut agar pasien TBC RO tidak harus ke RS setiap hari untuk berobat,” ujarnya.
Menurut Wiendra, rumah sakit harus menerapkan strategi Temukan-Pisahkan-Obati (Tempo) untuk tatalaksana TBC dan dapat menjadi pembelajaran untuk COVID-19. Dalam pengendalian TBC, ketika pasien batuk datang ke rumah sakit maka harus dilakukan triase saat penerimaan awal berdasarkan gejala utama TBC.
Kalau sudah batuk lebih dari dua minggu, pasien diberi masker dan edukasi tentang etika batuk, lalu menunggu di ruang terpisah dengan ventilasi yang baik sebelum dilayani.
Di samping pelayanan, riset implementasi juga memiliki peranan penting dalam penanggulangan penyakit.
Komite Ahli Tuberkulosis dr. Pandu Riono, MPH, PhD mengatakan modalitas penularan TBC dan COVID-19 ini berdekatan atau mirip. Menurut dia berbagai sumber daya yang sudah ada di manajemen pelayanan TBC bisa dimanfaatkan untuk penanganan COVID-19.
Juga sebaliknya, untuk jangka panjang ke depannya, investasi pada berbagai sumber daya penanganan COVID-19 saat ini, sangat memungkinkan bisa digunakan untuk mendukung pelayanan TBC.
“Pengobatan pasien TBC harus tetap berjalan dengan teratur sampai sembuh meski dengan munculnya COVID-19. Saya tentunya khawatir akan situasi COVID-19, tetapi peran warga untuk menjaga kesehatan masyarakat justru semakin diperlukan sekarang. Terutama untuk pasien TBC resisten obat,” kata Pandu.
Wiendra menghimbau pemangku kepentingan bisa lebih sinergis dalam melakukan promosi dan pencegahan penyakit. Pesan etika batuk dan Germas yang ada bisa dimanfaatkan oleh mitra-mitra implementasi di lapangan.
Setiap tahun 100 juta penduduk dunia jatuh sakit akibat Mycobacterium Tuberculosis yang menyebabkan penyakit TBC dan 845.000 di antaranya berada di Indonesia, atau negara dengan beban TBC tertinggi ketiga setelah India dan China.
“Menyadari besarnya permasalahan TBC di Indonesia, saya sampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada setiap orang yang berkontribusi agar pelayanan TBC tetap berjalan dalam kondisi saat ini. Saya juga mengapresiasi kerja keras tenaga kesehatan yang melawan COVID-19, karena upaya mereka menjaga kita semua, termasuk para pasien TBC. Sebagian tenaga kesehatan yang berjuang pun juga terlibat dalam eliminasi TBC,” kata Wiendra.
Baca juga: Pemerintah diminta pisahkan RS COVID-19 dengan pasien penyakit lain
Baca juga: Kemenkes uji petik virus corona dua pasien TBC
Baca juga: Kemarin, virus corona di 14 negara hingga Indonesia bebas TBC
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020